. . . "Selamat Datang Semoga Bisa Menjadi Sarana Mempererat Ukhuwah" "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." Ballighu Annii Walau Ayyah

“Ahad!”

Satu kata cinta Bilal

“Selimuti aku…!”

Dua kata cinta Sang Nabi

“Islammu, itulah maharku!”

Tiga kata cinta Ummu Sulaim

“Ya Rasulullah, saya percaya…!”

Empat kata cinta Abu Bakr

“Ya Rasulullah, izinkan kupenggal lehernya!”

Lima kata cinta Umar

Senin, 31 Oktober 2011

Konsep dan Filosofi Psikoterapi Islam

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (al-Ahzab : 21 )


A. Mengapa harus Islam
Sesungguhnya konsep yang ada dalam Islam adalah konsep yang menyeluruh bagi kehidupan. Konsep yang dapat membawa seseorang pada kebahagian hidup di dunia dan akherat. Sebagaimana do’a yang termaktub didalam surah al-Baqarah ayat 21, “...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” Konsep yang mampu mengarahkan manusia menuju jalan yang benar, jalan pengaktualisasian sebagai manusia yang sempurna. “...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu...” (Al-Maidah : 3)

Psikoterapi Islam lebih bermakna pada pendekatan psikologis secara Islami dalam rangka pembebasan dan pelepasan individu dari segala kekhawatiran dan kegelisahannya serta membantunya dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. “Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (Al-A’raaf : 200-201)

Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwa, apabila ditimpa was-was dari setan dan dilingkupi dengan segala kegelisahan, maka akan selalu mengingat akan konsep hukuman dan pahala Allah. Sehingga, akhirnya hal ini mampu membuat mereka melihat permasalahan dengan jelas dan melepaskan diri mereka dari segala kegelisahan dan was-was. Tetapi pada pembahasan konsep dan filosofi Psikoterapi Islam kali ini penulis lebih fokus pada wasiat Rasulullah saw.,

“Sesungguhnya seorang mukmin bila melakukan sebuah dosa, maka di hatinya tumbuh titik hitam. Jika ia bertobat, berhenti dari dosa dan istighfar, hatinya bersih dan licin kembali. Tapi jika ia berbuat maksiat lagi, titik hitam itu bertambah, demikian seterusnya sehingga titik-titik hitam itu bertumpuk memenuhi seluruh hatinya. Itulah yang dimaksud dengan “raan” dalam firman Allah,

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (al-Muthaffifiin : 14)

B. Antara Jasad, Ruh dan Jiwa

Dalam membahas manusia dari perspektif Psikologi sering digunakan kata-kata jasad, ruh dan jiwa. Itu merupakan komponen penting penyusun manusia tidak hanya sebatas mahluk biologis tetapi bermakna juga memiliki karakter dan sifat yang dimiliki. Dari ketiga kata ini dapat kita kelompokkan menjadi dua yakni, jasad merupakan komponen fisik, sedangkan ruh dan jiwa merupakan komponen psikis.

1. Jasad tempat menetapnya ruh dan jiwa. Firman Allah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (al-Hijr : 28) Orang-orang yang mati syahid hakikatnya tidak mati . Hal ini sesuai dengan firman-Nya, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (ali-Imran : 169)

Seringkali orang mengaitkan aktifitas otak dalam berfikir merupakan bagian dari jasad. Dimana sebagian orang berpendapat bahwa akal merupakan kemauan, sedangkan hati merupakan perasaan. Jadi, jika hati bergerak maka aktifitas akal akan terhenti. Pendapat ini sebenarnya tidak didukung oleh ayat-ayat Al-Qur’an yang didalamnya terkandung banyak pembahasan mengenai hati, termasuk karakteristik dan sifat-sifatnya. Ayat yang paling menonjol dalam Al-Qur’an dalam menjelaskan kesamaan akal dan hati adalah firman Allah,

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (al-Hajj : 46)

Renungkan ayat ini yang menengaskan bahwa hati berfikir. Jelas yang dimaksud disini bukan fisik otak yang berfikir, namun sesuatu yang lebih dalam. Begitu pula dengan telinga, yang dimaksud mendengar disini bukanlah bentuk fisik telinganya. Disebutkan dalam ayat yang lain di kitab suci Al-Qur’an tentang adanya pertemuan akal dan hati dalam satu ikatan. Awalnya dengan pengetahuan, lalu kemudian dengan indera yang membantu pengetahuan. Firman Allah,

“Dan kami jadikan hati mereka tertutup dan telinga mereka tersumbat, agar mereka tidak dapat memahaminya...” (al-Israa : 46)

“...dan hati mereka telah dikunci mati, maka mereka tidak mengetahui.” (at-Taubah : 87)

Pemahaman dan ilmu itu kedudukannya di dalam hati. Ini mendukung fungsi hati yang terkait dengan pengetahuan. Demikian juga mendukung bertemunya akal dengan hati, dimana salah satunya tidak dapat terpisah dari yang lain.namun keduanya memiliki sisi yang berbeda. Keduanya memiliki kesamaan pada aspek pemikiran. Hati memiliki kekhususan pada aspek instituisi (perasaan), sedangkan akal pada aspek pembelajaran, pemahaman dan pengetahuan (kognisi).

2. Terdapat hubungan yang kuat antara ‘jiwa’ dan ‘roh’. Akan tetapi, apakah keduanya merupakan wujud yang sama, atau ada perbedaan diantara keduanya?

Inilah yang dijelaskan oleh Imam Ibn Qayyim dalam bukunya ‘Ar-ruuh’. Dalam buku itu beliau memaparkan makna jiwa dan roh yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Yang dimaksud roh di sini adalah yang dengan adanya maka manusia dapat hidup, dan bila roh itu keluar berakibat kematian.

Singkatnya, jiwa dan roh itu satu. Jika dikatakan “Jiwanya keluar”, maka sama saja dengan mengatakan “Rohnya keluar”. Ada juga yang berpendapat bahwa roh bukanlah jiwa, akan tetapi jiwa menjadi tegak jiwadengan adanya roh. Jiwa lebih cenderung kepada dunia karena memiliki insting, sedangkan roh mengajak dan memperioritaskan kepada akhirat.

Imam Ibn Katsir telah emngisyaratkan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kesamaan roh dengan jiwa itu. Singkatnya, bahwa roh itu merupakan asaldan materi jiwa. Jiwa terbentuk dari roh dan terhubung dengan badan (jasad), dan itu hanya dari satu sisi, bukan dari semua sisi.

Pembahasan ini hanyalah untuk membatasi hubungan antara roh dan jiwa, bkan berpanjang-panjang membicarakan soal roh dan rahasia-rahasianya. Sebab, roh itu merupakan ilmu Allah secara khusus, dimana ilmu manusia tidak akan mampu mencapai tingkat yakin. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya,

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah : "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (al-Israa’ : 85)

Al-Qur’an Al-Karim adalah kitab yang diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi jiwa manusia. Allah memberikan pada jiwa manusia karakteristik berupa kemampuan untuk mengetahui yang baik dan buruk, dan membedakan keduanya, serta kesiapan untuk melaksanakan keduanya. Firman Allah,

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (asy-Syams : 7-10)

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. (al-Balad : 10)

Maksudnya, kami telah menjelaskan kepadanya dua jalan, yaitu jalan yang baik dan jalan buruk.

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (al-Insaan :3)
Jika saja Allah menghendaki, maka ia dapat menjadikan satu jalan saja bagi seluruh manusia, yaitu jalan petunjuk. Akan tetapi kehendak Allah menentukan manusia tidak dipaksa untuk mengerjakan sesuatu, namun menjadikannya memiliki tabiat khusus yang disertai dengan petunjuk dan kesesatan. Dengan tabiat khususnya ini, manusia menunaikan perannya dialam yang dibebankan Allah kepadanya ini, dan ia akan dibalas dengan siksa di neraka jika mengikuti jalan kesesatan. Firman-Nya dalam Al-Qur’an,

“Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada setiap jiwa petunjuk (bagi) nya, tetapi telah ditetapkan perkataan (ketetapan) dari-Ku, "Pasti akan Aku penuhi neraka jahannam dengan jin dan manusia bersama-sama.” (as-Sajdah : 13)

C. Jiwa dalam bimbingan Rasulullah
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (al-Ashr : 1-3)

Sebagai seorang muslim sudah menjadi kewajiban bersama untuk saling menasehati dalam kebaikan dan mencegah kemunkaran. Al-Qur’an telah menjelaskan misi Rasulullah saw. dengan firman Allah swt.,

“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (As sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (al-Jumuah : 2)

Ini adlah misi pengajaran dan pendidikan, bertujuan mengelurkan umat manusia dari kegelapan ke cahaya dengan izin tuhan mereka (hidayah). Yang dimaksud dengan tazkiyah (penyucian) dalam ayat tersebut adalah peningkatan aspek spirituaal, pembersihan hati, dan peningkatan kemulian perilaku. Itulah esensi tarbiah ‘pendidikan’. Adapun yang dimaksud dengan pengajaran dalam ayat di atas adalah penyampaian pengetahuan dan hikmah ke dalam hati agar tercipta perubahan besar dalam jiwa.

1. Penyakit jiwa dan terapinya. Sebagian besar penyakit jiwa dan syaraf yang menjadi penyakit komtemporer dan merupakan ciri khas peradaban materialis modern, adalah buah hasil dari penyakit-penyakit yang lebih berbahaya dan lebih mengakar didalam jiwa manusia yang jauh dari Tuhannya, yang dapat memperluas peluang bagi syubhat (keraguan) dan syahwat hingga lebih mengakar di dalam jiwa dan mengguncang tatanan hati. Namun penyakit-penyakit yang menakutkan ini nampaknya tidak dirasakan oleh manusia, karena ia tidak menimbulkan rasa sakit yang dapat dirasa oleh indera, atau perubahan lahiriah pada pribadi yang sakit.

Imam Ibn Rajab al-Hanbali berkata, “Jika hati dalam keadaan suci, maka di dalamnya hanya ada cinta kepada Allah swt dan cinta kepada semua yang dicintai Allah swt. Takut kepada Allah swt, dan takut melakukan hal-hal yang dibencinya. Semua gerakan anggota tubuhnya baik, yang akan membuatnya menjauh dari hal-hal yang terlarang, dan waspada terhadap syubhat yang akan menjatuhkannya pada hal-hal yang terlarang. Jika hati rusak, maka ia akan mengikuti hawa nafsu dan berupaya mencari hal-hal yang disukainya, meskipun Allah swt membencinya. Gerakan anggota tubuhnya merusak dan cenderung pada segala kemaksiatan dan syubhat, sesuai dengan kepengikutan hawa nafsu di dalam hatinya.

Imam Ibn Qayyim al-Jauziyah berkata saat mendefinisikan hati yang suci : “Yaitu hati yang selamat dari semua syahwat yang bertentangan dengan perintah Allah swt dan larangannya dan dari semua syubhat yang mengacaukan pengetahuannya.

Maka batasan pasti yang merupakan area perpindahan hati yang suci dan hati yang sakit adalah; kesamaan antara cinta kepada Allah swt dan rasulnya, dengan cinta kepada dunia dan syahwatnya yang diperbolehkan (mubah). Sedangkan jika masuk sedikit saja syahwat yang terlarang ke dalam hati, maka akan mengakibatkan sakit. Pengetahuan mengenai batasan ini tidak dimiliki oleh setipa orang, karena jiwa seringkali menipu pemiliknya. Ia mengira telah memprioritaskan cinta kepada Allah swt dan Rasul-Nya dari cinta kepada dunia. Ia tidak menyadari bahwa sebenarnya ia telah berada pada jeratan dunia dan menjadi tawanan dalam belenggunya, serta imannya telah menciut dan melemah di dalam hatinya. Juga perlahan-lahan hal-hal yang diperbolehkan telah meluas kepada hal-hal syubhat hingga akhirnya ia akan masuk pada lingkaran hal-hal yang diharamkan.

A : Area Mubah

B : Area Syubhat

C : Area Haram





Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites