. . . "Selamat Datang Semoga Bisa Menjadi Sarana Mempererat Ukhuwah" "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." Ballighu Annii Walau Ayyah

Sabtu, 27 Oktober 2012

Misteri Ateisme Sigmund Freud


DALAM buku termasyhurnya The Future of An llusion, Freud berpendapat bahwa agama merupakan gejala neurotis serta pelarian manusia dari kenyataan. Karena ketakutannya berhadapan dengan realitas beserta konsekuensi dan resiko-resikonya, manusia mencari kedamaian dengan menciptakan Tuhan, yang sebenarnya tidak nyata dan tidak kelihatan.

Dengan penuh rasa ngeri, kata Freud, manusia tunduk terhadap resiko-resiko dunia, dan kemudian menyembah Tuhan sebagai pelariannya. Sikap ini adalah sikap seorang neurotik, sekaligus seseorang yang tidak dewasa (infantil). Agama adalah lambang dari sikap neurotis dan infantil dari manusia. Jika manusia hendak sungguh-sungguh mampu menghadapi tantangan realitas nyata, maka ia harus membebaskan dirinya dari neurotis kolektif tersebut. Menurut Freud, agama membuat manusia percaya akan eksistensi dewa-dewa, sehingga akhirnya membuat mereka menjadi lemah. “Dewa-dewa”, menurut Casper dalam konteks penulisan tentang Freud, “berfungsi mengatasi ancaman alam, membuat orang menerima kekejaman nasibnya,…”

Dalam bukunya itu, Freud juga menumpahkan kebenciannya terhadap agama. Freud menuding orang yang menjaga akhlaknya dalam tradisi agama Islam rentan terkenan neurorsis, karena selalu menahan hawa nafsunya. Ia juga melihat bahwa orang yang berwudhu mirip dengan penderita neurosis: sama-sama sering membersihkan tangannya. Meski menurut saya, konsep Freud dalam hal ini salah fatal, karena wudhu dalam Islam terjadi bukan digerakkan oleh alam bawah sadar, tapi manifestasi ketakwaan kepada Allah sebagai syarat sebelum didirikannya shalat.

Entah kenapa Freud seperti menggeneralisir semua agama karena sempat mengalami trauma agama pada masa kecil, dimana keyahudiannya menjadi bahan olok-olok oleh teman Kristennya.

Namun fakta bahwa Freud ateis, memang saya ragukan, walau tidak sepenuhnya salah. Kenyataan jika kita mendalami Sigmund Freud akan kita dapati bahwa pada giliranya Freud sangat terinflitrasi Hasidisme Yahudi yang begitu kuat.

Yudaisme Hasidik sendiri adalah ajaran yang dimulai tahun 1600-1700. Salah satu mazhab dalam Yahudi ini dibawa oleh seorang rabbi Yahudi bernama Baal Shem Tov. Dalam tradisi Yahudi, Hasidik meninggalkan pendekatan orthodoks pada hal-hal ilmiah dan memuaskan perhatiannya pada ritual dan kajian mistisYahudi. Pemimpin Hasidik (Rebbe) dipercayai memiliki karunia spiritual melebihi karunia yang diberikan pada rabbi. Dalam perkembangannya, gerakan ini begitu kuat di Israel dan Amerika.

Ferdinand Zaviera dalam bukunya yang sangat menarik –karena menampilkan fakta yang sungguh berbeda- mengatakan bahwa banyak sekali inflitrasi Kabbalah dalam kontruk bangunan psikoanalisis. Hal ini akan menepis pandangan bahwa Sigmund Freud tidak membangun teorinya dari prinsip atheism, tapi dominasi theisme Kabbalah yang begitu kuat. Dalam bukunya Teori Kepribadian Sigmund Freud, Zaviera menulis,

“Satu lagi tokoh pra-Freudian yang harus diterangkan disini adalah: Karl Eduard von Hartmann (1824-1906). Dialah yang mencampurkan ide-ide Schopenhaur dengan mistisisme Yahudi (Kabbalah) dan menulis Philosophy of the Unconsiousnous pada tahun 1869, yang sangat mempengaruhi neurologis muda bernama Sigmund Freud”

Hal ini juga diamini oleh Sanford L. Drob. Doktor Psikologi Klinis di Fielding Graduate University ini mencatat banyak persamaan antara ide-ide Kabbalah dan Hasidisme dalam basis keilmuan psikoanalisis Sigmund Freud. Bahkan pada teori Libidonya, yang menyatakan bahwa manusia selama ini digerakkan oleh hawa nafsu berangkat dari ide Ein Sof. Ein Sof secara harfiah berarti “tanpa akhir” (“without end”, “the Infinite”). Tuhan yang dalam sisi-Nya tak dapat dikenal (unknowable, indiscribable). Manifestasi Ein Sof melalui proses emanasi maka lahirlah apa yang disebut dengan sefirot. Untuk lebih jelasnya dalam tulisan, “Freud and Kabbalah”, Sanford menulis,

“Ada banyak persamaan antara psikoanalisis dan berbagai praktek, metode hermeneutika, dan pengaturan kelembagaan Kabbalah dan Hasidism. Di sini saya hanya bisa memberikan garis besar singkat tentang kaitan antara teori Freud dan teosofi Lurianic…. Menurut Freud perkembangan individu melibatkan penyaluran energi prokreasi (libido). Energi ini sejalan dengan Kabbalist’s atau Ein-Sof (Cahaya yang tak terhingga) yg kemudian dimodifikasi kedalam struktur, ego, dan superego. Fungsi dari hal ini adalah bertugas untuk menyalurkan dan mengatur pancaran emanasi lebih lanjut kepada libido individu, sebagaimana Sefirot dirancang sebagai kapal untuk menyalurkan cahaya dan energi dari kehendak Tuhan.”

Maka itu dalam beberapa tulisannya, terlihat keanehan, Freud mengkritik habis Islam dan Kristen, tapi ia tidak mengkritik konsep ketuhanan Yahudi. Apakah konsep ateisme Freud hanya dipakai untuk mengkritik Islam? Allahua’lam. (Pz/Islampos)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat, silahkan tinggalkan komentar sebagai bentuk saling berbagi...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites