Psyche Sebuah Warisan Kaballah: Membongkar Teologi Yahudi dalam Pencetusan Ilmu Psikologi
Mengapa kita harus terkejut ketika diberi fakta bahwa inti pelajaran-pelajaran di sekolah kita 95% adalah ajaran setanisme? Toh kita telah membuang Tuhan Yang Maha Esa dari sekolah-sekolah umum kita sudah sejak awal tahun 1960-an. Jadi, sekarang sekolah milik kita telah dibersihkan dari Tuhan selama tiga dekade, sekarang saatnya untuk memperkenalkan agama Anti-Kristus, murni Setanisme. Namun, pengenalan ini, setidaknya pada tahap awal, harus disamarkan, sehingga sebagian besar guru dan pengelola sekolah akan tertipu untuk sifat sejati ajaran ini. Jadi, Setanisme ajaran ini telah diperkenalkan ke sekolah-sekolah kita dengan kedok psikologi. (David Bay, Praktisi Pendidikan di Amerika).
Oleh: Pizaro
Psyche Sebuah Warisan Kaballah: Membongkar Teologi Yahudi dalam Pencetusan Ilmu Psikologi
Anda
tahu bagaimanakah sebenarnya istilah Psikologi muncul? Tolong jangan
ambil buku psikologi anda dulu. Karena disitu anda tidak akan pernah
menemukan jawaban yang sebenarnya saya inginkan. Atau karena jabatan
anda mahasiswa, psikolog dan konselor mungkin dengan itu bisa sekedar
meredakan ketidakoptimisan saya? Ya sekalipun anda mahasiswa strata
satu, bergelar master, atau mungkin saudara anda bertitel Profesor
Psikologi sekalipun. Ini bukan saya mengecilkan arti pribadi anda, atau
saya pesimis tentang wawasan keilmuan anda. Saya yakin anda orang hebat,
tapi saya tidak yakin kurikulum keilmuan kita selama ini menampilkan
fakta apa adanya tanpa aurat. Karena sekarang kita sedang berbicara
tentang bagaimana sebuah rahasia disusun rapih. Tentang sebuah makna
konspirasi yang tidak bisa dibaca dengan mata telanjang. Tentang
bagaimana sebuah perkumpulan bawah tanah yang sedang bergerak membangun
dunia. Dan tentang bangunan sistem nilai yang tengah dirancang untuk
membuat tatanan dunia baru dengan menyingkirkan sistem yang kita yakini.
Suatu
ketika Almarhum Sukanto MM, salah seorang akademisi yang begitu konsen
terhadap Psikologi, sekaligus pencetus Nafsiologi, merasa keheranan yang
luar biasa. Ia begitu bingung kenapa nama Psikologi harus dicomot dari
istilah Psyche, gubahan Plato, filosof Yunani Kuno klasik dari 25 abad
yang lalu itu. Padahal Plato hanya memberikan sinyal Psyche dari hasil
lamunan semata, bersifat insitingtif dan pastinya spekulatif. Jika
ditelusuri lebih jauh Plato dalam hipotesanya membagi manusia menjadi
tiga bagian, yakni, akal, afeksi, dan nafsu. Akal menjuntai dikepala,
afeksi terletak di dada, dan nafsu berada di perut.
Almarhum
Sukanto menangkap jelas bahwa struktur Psyche Plato mengalami
invaliditas kebenaran ilmiah. Alhasil Psikologi Plato telah kadung dicap
gagal untuk menyerap aspirasi publik modern yang haus atas nafas
keshahihan sebuah ilmu.
Selanjutnya,
pengajar di Universitas Islam Batik Solo tersebut mengatakan gagasan
Aristoteles dengan Entelechi-nya sedikit lebih baik, ketimbang mengacu
kepada trilogy Plato itu. Sebab spekulasi yang sifatnya elementer
seperti yang Plato cetuskan amat sukar dibuktikan. Ini bisa dipahami
karena konsep Niskala Plato menjadi rumit untuk diendus dengan kemampuan
Inderawi. Dan mosi ketidakpercayaan atas Psikologi menjadi tidak
terelakkan.
Fakta
menarik ditemukan bahwa sedari dulu Aristoteles sebagai murid Plato
sendiri memang meyangkal adanya psyche yang diurai gurunya tersebut.
Menurut Aristoteles, entelechi dengan badan membentuk kesatuan total
sebagai susunan monodualis, bukan susunan dikotomi seperti dugaan Plato.
Nah lho... Mungkin Pak Kanto, ingin berujar, "Terus buat apa kita
gembar-gembor kan kata Psikologi? Konyol bukan?"
Andai
Pak Kanto masih hidup saya ingin sekali mengajaknya minum teh hangat
ditemani roti di pinggiran kedai kopi dalam romansa Kota Solo yang
militan. Sebagai alumnus jurusan Konseling dan beberapa kali terpaksa
terjebak dalam Pengkajian Psikologi, sampai botak pun saya belum
menemukan dalam buku studi ilmu jiwa tercanggih sekalipun bahwa sisi
gelap mengungkapkan ternyata Plato adalah seorang penganut Kaballah
Sejati. Jika anda belum mengenal Studi tentang Yahudi, singkatnya
Kaballah adalah "satanic ideology" yang dari zaman Mesir Kuno dan hingga
saat ini telah mewarnai pemikiran keilmuan dunia demi kelanggengan
Hegemoni ajaran Yahudi. Mengacu pada mos tersebut, tak berlebihan bahwa
nama Kaballah adalah sisi terpenting dalam entitas Sistem Nilai Yahudi
yang akan menguasai dunia kelak. Kesemuanya itu popular dalam sebutan
New World Order: Sistem Dajjal, kata Ahmad Thompson.
Seperti
kepercayaan Mesir purba, Kabbalah menolak keras bahwa hakikat material
terjadi dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Kabbalah juga
memvonis penciptaan manusia ala Islam menjadi sebuah isu semata. Bagi
Kaballah, manusia adalah reinkarnasi, persis seperti teori evolusi
Darwin. Individu juga tidak boleh diatur dalam sekat-sekat agama, karena
manusia haruslah bebas membuat apa saja yang mereka kehendaki.
Bagaimana mungkin manusia menjadi ampuh untuk diatur sedangkan individu
adalah pusat materi. Dari titik tolah inilah timbul gagasan humanisme
yang dalam psikologi bernama psikologi humanistik.
Jama'ah
Psikologi yang sejatinya atheis ini mencapai ribuan. Sayangnya
didalamnya ada dosen, anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI),
pengurus Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN), anggota
Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi (IMAMUPSI) sekalipun, sampai mahasiswa
Ushuluddin, Bimbingan Konseling (BK) dan Psikologi semester tingkat
akhir. Kata mereka, Psikologi Humanis lebih dekat dengan manusia. Ya
betul, dekat dengan manusia, sekaligus jauh dari Tuhan. Mengutip apa
kata Harun Yahya, Humanis yang sejatinya paham atheis ini telah berhasil
menipu ilmuwan, apalagi mahasiswa. Pada edisi berikutnya insya Allah
akan penulis bahas.
Untuk lebih
jeli memperhatikan pergerakan mereka, David Livingstone harus sampai
menulis sebuah artikel monumental berjudul, Plato The Kabbalist. Disitu
ia menulis bahwa harus menjadi keprihatinan kita bahwa gurita Filsuf
Kabbalis seperti Plato ini telah menjadi pilar banyak doktrin yang telah
melanda abad kedua puluh. Dan konyolnya, satu-satunya alasan dia telah
mencapai reputasi besar adalah bahwa dalam rimba sejarah Barat dan
Timur, tradisi okultisme Plato telah dianggap sebagai "godfather" dari
berbagai doktrin, dan sebagai wakil besar dari orang-orang yang
berhubungan dengan tradisi kuno Kabbalah.
Pada
sisi lain, ajaran Kaballah tanpa terendus mata kemudian berkembang biak
dengan baik dalam alam konspirasi keilmuan yang dilakukan Freemasonry
(perkumpulan rahasia Yahudi). Padahal tradisi tersebut bertentangan
dengan semangat ilmu, sebab tradisi Kabballah berasal dari peradaban
jahiliah Mesir Purba, Yunani Purba, dan Rom yang telah membangun pra
konsepsi akan sebuah atheisme sains. Di mana mereka yang seperti Fir'aun
ini tidak mengakui wujud dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Cara mereka
untuk melanggengkan jalan ini adalah dengan membina Heliopolis dan
Memphis di mana tempat ini adalah sumber ilmu pengetahuan dan sains.
Nama-nama seperti Pythagoras, Plato dan Cicero adalah sederetan filsuf
yang menyertai Freemason ketika itu.
Majalah
Mimar Sinan menyatakan tanggungjawab Fir'aun adalah mencari cahaya
yakni ilmu. Ketika itu anggota Freemason berusaha membina kuil Sulaiman
untuk memuluskan misi-misinya. Kisah ini ternyata tertangkap basah dan
diberi garis bawah dengan jelas oleh Al- Qur'an pada surah Az-Zukhruf,
ayat 54-55
"Maka Fir'aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut). "
Secara
gamblang, historitas pergerakan mereka seperti yang diendus Al Qur'an
berkembang dengan tujuan gerakan Freemasonry secara umum memiliki empat
visi yakni, Menghapus semua agama. Menghapus sistem keluarga.
Mengkucarkacirkan sistem politik dunia. Selalu bekerja untuk
menghancurkan kesejahteraan manusia.
Perdebatan Pscyhe dalam Teologi Kristen
Yang
menarik adalah bahwa istilah ideology Kaballah dalam Psyche Plato
sebelumnya sudah menjadi perdebatan sengit dalam teologi Kristen. Dalam
sebuah catatan dari Wisma Gembala, dikisahkan bahwa Pada 300 tahun
sebelum kelahiran Kristus, Alexander Agung (Iskandar Agung), merambah
dan menjajah banyak negeri. Dari Yunani dia bergerak menaklukkan seluruh
Asia Barat, lalu menaklukkan Afghanistan, bahkan sempat memasuki India,
sebelum penjelajahannya berakhir.
Selama
ratusan tahun, negeri Israel berada di bawah penjajahan Yunani (sebelum
penjajahan Romawi), sehingga pada masa Yesus, bahasa Yunani menjadi
bahasa sehari-hari di Israel. Masuk jugalah budaya dan ajaran Yunani ke
dalam pemahaman para pengajar Israel di kala itu.
Selanjutnya
di catatan itu dijelaskan bahwasanya Guru-guru bangsa Yunani adalah
ahli-ahli filsafat yang dihormati kendati mereka tidak mengenal dan
tidak mengakui Tuhannya orang Yahudi. Mereka hanya mengakui dewa-dewi.
Yang Maha Tinggi, dan mereka beri sebutan 'Theos'.
Pada
esensinya, Filosof Yunani menganut paham bahwa manusia terdiri atas dua
bagian saja atau biasa disebut teori Manusia-2-unsur. Pertama, unsur
yang kasat mata (baca: tubuh) dan unsur yang tidak-kasat-mata yang dalam
filosofi Yunani kemudian disebut 'psyche' dan dalam bahsa Indonesia
dikenal dengan aksioma jiwa. Paham filsafat Yunani ini mengajarkan lebih
jauh bahwa 'psyche' adalah sesuatu yang abadi dan pasti tidak dapat
binasa. Hal ini tertuang dalam buku "Memperkenalkan Theologia Perjanjian
Baru" hlm.72 karangan A.M.Hunter yang menjelaskan bahwa:
"Berikutnya,
Kebangkitan itu menunjukkan kekalahan maut. Ini memerlukan
pendefinisian yang hati-hati. Mari kita menjelaskannya dengan
mengatakan, bahwa orang Kristen pertama tidak mengatakan bahwa
Kebangkitan itu suatu pembuktian dramatis kebenaran bahwa manusia
tinggal hidup sesudah kematian: seolah-olah suatu bukti lagi yang
ditambahkan kepada serentetan bukti-bukti tentang keabadian jiwa (suatu
doktrin yang bukan Yahudi, melainkan Yunani)."
Dari
sini kita menjadi paham bahwa dari pemikiran filsafat Socrates dan
Plato (dua orang filosof Yunani) berkembanglah apa yang kita kenal
selama ini, yakni Ilmu Psikologi! Wisma gembala menjelaskan bahwa
sejatinya psikologi bukanlah sebuah ilmu yang kita bayangkan sebelumnya.
Selama ini kita mencicipi definisi psikologi sebagai sebuah disiplin
ilmu yang mempelajari perilaku dengan metode ilmiah. Namun sejatinya
psikologi tak bisa berkelit ketika tertangkap tangan tengah mencoba
melenyapkan Tuhan di dalam seluruh pengajarannya dan menjalankan
nilai-nilai kebadian khas Kabbalis! Baik teori intelegensi, teori
kepribadian, teori sosial, atau praktik konseling.
Itu
memang menjadi keniscayaan hingga kini. Bayangkan Calvin Hall dan
Gardner Lindzey saja dalam tiga jilid bukunya tak satupun merumuskan
tiga aliran Psikologi yang menyertakan Tuhan dalam tampilan yang
sebetulnya. Setali tiga uang, John Nevid dalam Psikologi Abnormal-nya
pun demikian. Ivan Pavlov lebih gila lagi mencoba menyebut manusia
sebagai binatang. Sigmund Freud? jangan ditanya, orang shalat saja
dibilang sakit. Ini semua bermula dari gagasan materialisme dan
humanisme yang dipelajari dan dipraktekan para psikolog terhadap
pasien-nya dan konselor kepada anak didiknya.
Selanjutnya,
dari fakta penjajahan Yunani ini serta fakta bahwa Perjanjian Baru
awalnya di tuliskan di dalam bahasa Yunani, terjadilah perembesan paham.
Menurut teologi Kristen inilah rupanya yang mengakibatkan masuknya
istilah 'psyche' (Indonesia: 'jiwa') ke dalam Perjanjian Baru. Di dalam
Perjanjian Baru, istilah 'jiwa' ditemukan dalam 34-ayat, tetapi yang
paling tersohor adalah yang dianggap menopang Teori Manusia yang terdiri
dari 3 unsur. Pertama dalam Matius .10:28
"Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka."
Dan kedua dalam Ibrani.4:12,
"Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita."
Selanjutnya dapat diuraikan bahwa
dalam waktu yang bersamaan, di Israel masih terpelihara pengajaran dari
filsafat agama Yahudi, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua
bagian juga: bagian yang kasat mata (Indonesia: tubuh) dan yang
tidak-kasat-mata (Ibrani: 'ruach'; Indonesia: 'roh' atau
'nafas-kehidupan'). Ini adalah Teori Manusia 2 unsur yang berasal dari
Filosof Yunani, yang tidak mengakui hadirnya roh-roh. Dengan tidak
mengakui adanya roh, ajaran ini juga tidak mengakui adanya Tuhan. Sebab
Roh adaah bagian dari Tuhan.
Apa
yang menjadi kekhawatiran para penganut Kristiani dalam melihat
Psikologi sebenarnya tidak lepas dari andil ideologi humanisme yang
mengklaim bahwa manusia bertanggung jawab besar terhadap keberadaannya.
Kaum Kabbalis menolak intervensi Tuhan dan turut serta menyanjung Iblis
sebagai alam yang membawa pencerahan atau akrab disebut dengan istilah
Lucifer.
Kaum Kabbbalis
mempercayai bahwa kekuasaan yang berasal dari cahaya, api dan matahari
merupakan simbolisasi dari iblis. Namun tentunya mereka tampil tidak
dengan rupa yang menakutkan, karena Lucifer kemudian melahirkan
Illuminati yang berjalan dengan baju indah tapi bernama ideologi sains
tanpa Tuhan.
Kesemuanya hadir
atas nama ilmiah, demi sebuah objektifitas. Dan kita semakin mengerti
bahwa istilah ilmu itu objektif dan mestilah empiric, lahir dari gagasan
ini, termasuk psikotes yang sarat positivistik. Seperti yang sudah
penulis uraikan, bahwa kesemua itu pada dasarnya adalah tipuan semata
dan taktik bagaimana Barat ingin membunuh Tuhan tanpa meninggalkan
jejak.
Dialektika Psyche dalam
perdebatan teologi Kristen menjadi semakin menarik untuk diungkap,
karena pada dasarnya Psyche ini memiliki andil terbesar untuk
menjerumuskan kaum Kristiani dalam rimba sains minus Tuhan yang
sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh Gereja.
Jika
kita teliti mendalam, kekhawatiran itu sebenarnya tidak saja mendera
Gereja. Kita bisa menyimpulkan bahwa Istilah Psyche inilah yang memiliki
pengaruh besar dalam perjalanan Psikologi. Studi ilmu yang hakikatnya
dalam Islam dinilai sebagai upaya mendekatkan kita kepada jalan takwa,
diubah sedemkian rupa untuk menjatuhkan umat muslim pada lubang yang
ditutupi daun bernama misi menghapus agama. Korbannya adalah kita-kita
semua, murid kita, anak kita, dan lebih bahaya lagi masa depan serta
akidah kita.
Jalan terang dari Islam untuk melawan Hegemoni Yahudi
David
Livingstone melihat doktrin Kabbala kepada hal yang lebih mendalam
lagi. Bahwa filsafat yang kadung kita sebut sebagai pucuk ilmu, ternyata
semata-mata merupakan perampasan ide-ide dari orang Majus Babel, yang
pada gilirannya dipengaruhi oleh ide-ide Kabbalistik Yahudi awal.
Tanpa
dinyana thesa Livingstone telah merasuk ke puluhan ribu fakultas dan
jurusan Psikologi yang ada di dunia, termasuk seratusannya bercokol di
Negara penduduk Muslim ini. Adnin Armas MA dalam sebuah kesempatan pada
kajian keislaman di INSIST mengungkapkan sebuah fakta. Ia mengungkapkan
sebuah perjalanan ilmu yang coba disangkutkan kepada Sistem Peradaban
Yunani. Isitah-isitlah ilmu yang mestinya menjadi domain yang khas
Islam, tak bisa dielakkan selalu dibenturkan kepada peradaban Yunani.
Kita ketahui bersama bahwa isitlah segala ilmu dan peradaban kerap
diacarikan akarnya dari peradaban Yunani, seperti contoh Demokrasi, dari
kata Yunani Demos Kratos. Antropologi, anthropos dan logos. Padahal
secara jujur filosofi Yunani tidak menyumbangkan makna "Tuhan" bagi umat
Islam. Cenderung merusak dan jauh dari harapan.
Ditambahkan
oleh Armas, mengutip atas apa yang diteliti oleh Adi Setia dalam
Thesisnya di ISTAC, Malaysia, bahwa peradaban Yunani ternyata tidak
berdiri tunggal. Corak filsafat Yunani memiliki rumpun yang muaranya
bisa "diprovokasi" pada pengaruh kuat peradaban Mesir Kuno. Sebuah
peradaban yang sebelumnya telah eksis.
Balik
kepada perdebatan awal, istilah Psyche yang diungkapkan oleh Plato,
memang tidak hanya mengalami kecacatan ilmiah dalam literature
saintifika, tapi juga menjadi semakin terang kekeliruannya ketika Islam
ikut bermain untuk menjawab dalam carut marut ini. Dalam warisan
epistemologi Islam, gagasan Psyche tidaklah menegasikan tentang arti
Tuhan.
Pak
Sukanto Mulyomartono dalam bukunya Nafsiologi Suatu Pendekatan
Alternatif atas Psikologi, lebih khusus menampik aksara psyche dan
menyebut psikologi dengan istilah baru, yakni "Nafsiologi." Penggunaan
istilah ini disebabkan objek kajian psikologi dalam Islam adalah
al-nafs, yaitu aspek psikopisik pada diri manusia. Term al-nafs tidak
dapat disamakan dengan term soul atau psyche dalam psikologi kontemporer
Barat dan Plato, sebab al-nafs merupakan gabungan antara substansi
jasmani dan substansi ruhani, sedangkan soul atau psyche hanya berkaitan
dengan aspek psikis manusia.
Sukanto
melanjutkan bahwa jika Psyche adalah simbiosa hasil pikiran manusia,
maka nafsiologi membahas nafs yang pengertiannya diambil dari Al Qur'an.
Abdul Mujib, Profesor Psikologi Islam dari UIN Jakarta, melihat bahwa
nafs dalam konteks ini berarti psikofisik manusia, yang mana komponen
jasad dan ruh telah bersinergi, tidak terpisah seperti apa kata Plato.
Apabila ia berorientasi pada jasad, maka perilakunya akan buruk, tetapi
apabila mengacu pada natur ruh kehidupannya akan menjadi baik. Pada
momen ini manusia memiliki kebebasan berkehendak yang memungkinkan
manusia secara sadar mengarahkan dirinya ke arah keluhuran dan
kesesatan.
Berbeda dengan
Psikologi modern saat ini, Islam membicarakan aspek-aspek dan perilaku
kejiwaan manusia. Aspek-aspek kejiwaan dalam Islam berupa al-ruh,
al-nafs, al-kalb, al-'aql, al-dhamir, al-lubb, al-fu'ad, al-sirr,
al-fithrah, dan sebagainya. Masing-masing aspek tersebut memiliki
eksistensi, dinamisme, proses, fungsi, dan perilaku yang perlu dikaji
melalui al-Qur'an, al-Sunnah, serta dari khazanah pemikiran Islam.
Sejatinya,
Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga apa
hakekat jiwa sesungguhnya. Sebagai satu organisasi permanen, jiwa
manusia bersifat potensial yang aktualisasinya dalam bentuk perilaku
sangat tergantung pada daya upaya (ikhtiyar)-nya. Dari sini nampak bahwa
Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia untuk berkreasi,
berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun dalam
kebebasan tersebut tetap dalam koredor sunnah-sunnah Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Gagasan seperti ini tidak ada dalam literature Barat.
Mujib
menambahkan bahwa nafs mempunyai potensi gharizah yang dalam arti
etimologi berarti insting, naluri, tabiat, perangai, kejadian laten,
ciptaan, dan dapat dipecah menuju tiga bagian, yakni (a) qalb yang
berkaitan dengan rasa atau emosi. (b) Akal yang berkaitan dengan cipta
dan kognisi, dan (c) nafsu yang berhubungan dengan karsa atau konasi.
Satu
hal yang membantah konsep psikologi saat ini, bahwa dalam Islam jiwa
selalu mengakui adanya kebenaran dari Allah. Konsep fitrah yang menjadi
trademark Islam dengan jelas disebut oleh al-Ghazali ketika mengurai
nafs. Al-Ghazali menyatakan bahwa kalbu memiliki jiwa ruhani yang
disebut kalbu ruhani. Karakteristiknya menurut al-Ghazali menarik untuk
disimak:
1.
Ia memiliki insting yang disebut annur al ilahi (cahaya ketuhanan) dan
al bashirah al bathiniah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan
keyakinan.
2. Ia diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecendrungan menerima kebenaranNya.
2. Ia diciptakan oleh Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecendrungan menerima kebenaranNya.
Dengan
konsep fitrah, Islam memandang bahwa semua manusia adalah baik dan
manusia selalu ingin kembali kepada Kebenaran Sejati (Allah). Ini
dipertegas dalam al-Qur'an, surat al A'raaf 7: 172.
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
Plato
juga tidak bisa menampik bahwa Ruh adalah elemen yang penting dalam
skala jiwa manusia. Dimana Ruh adalah nyata sesuai yang tertuang dalam
Al Qur'an.
"Dan Maryam puteri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami; dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya; dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat."(Surat At Tahrim ayat 12)
Para
ulama klasik juga menyusuri gagsan tentang Ruh dalam struktur kehidupan
manusia. Ibnu Taimiyyah, misalnya menyatakan bahwa kata al-ruh juga
digunakan untuk pengertian jiwa (nafs). Ruh yang mengatur badan yang
ditinggalkan setelah kematian adalah ruh yang dihembuskan ke dalamnya
(badan) dan jiwalah yang meninggalkan badan melalui proses kematian. Ruh
yang dicabut pada saat kematian dan saat tidur disebut ruh dan jiwa
(nafs). Begitu pula yang diangkat ke langit disebut ruh dan nafs. Ia
disebut nafs karena sifatnya yang mengatur badan, dan disebut ruh karena
sifat lembutnya. Kata ruh sendiri identik dengan kelembutan, sehingga
angin juga disebut ruh.
Sedangkan
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah ruh dan nafs untuk
pengertian yang sama. Nafs (jiwa) adalah substansi yang bersifat nurani
'alawi khafif hayy mutaharrik atau jism yang mengandung nur, berada di
tempat yang tinggi, lembut, hidup dan bersifat dinamis. Jism ini
menembus substansi anggota tubuh dan mengalir bagaikan air atau minyak
zaitun atau api di dalam kayu bakar. Selama anggota badan dalam keadaan
baik untuk menerima pengaruh yang melimpah di atasnya dari jism yang
lembut ini, maka ia akan tetap membuat jaringan dengan bagian-bagian
tubuh. Kemudian pengaruh ini akan memberinya manfaat berupa rasa, gerak
dan keinginan.
Di dalam ayat yang
lain, Allah menyebut Al-Qur'an dengan ruh, dan salah satu makna ruh di
sini adalah segala yang menjadikan hati hidup penuh dengan makna.
Sebagaimana halnya tubuh, jika di dalamnya ada ruh maka dia akan hidup
dan jika ruh keluar dari badan maka dia akan mati. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman, yang artinya:
"Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu/Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur'an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.،¨ (QS. Asy-Syuraa: 52)
Sayyid
Quthb juga mendelegasikan pandangannya tentang penamaan Al-Qur'an dengan
ruh berdasarkan firman Allah: "(Dialah) Yang Maha Tinggi derajat-Nya,
Yang mempunyai 'Arsy, Yang memberi ruh dengan (membawa) perintahNya
kepada siapa yang dikehendakiNya di antara hamba-hambaNya, supaya dia
memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat)." (QS.
Ghafir: 15) Redaksi yang digunakan dalam ayat ini mengisyaratkan dua
hal: pertama, bahwa wahyu (Al-Qur'an) adalah ruh dan kehidupan bagi
manusia, tanpa ruh ini manusia tidak akan bisa hidup dengan baik dan
benar.
Kedua, bahwa wahyu itu
turun dari tempat yang tinggi kepada siapa yang dipilih dari
hamba-hamba-Nya. Redaksi ini bertepatan dengan sifat Allah Yang Maha
Tinggi lagi Maha Agung.
Dengan
begini gagasan Plato tentang Psyche dan Psikologi jelmaan Kaballah saat
ini menjadi terbantahkan. Hegemoni kaballah dalam epistemology Psikologi
mengalami dua problem vital yang harus menjadi pusat perhatian para
ilmuwan Muslim. Pertama karena gagasan psyche Plato dan derivate
psikologi saat ini menggiring opini kita untuk mengingkari keberadaan
Tuhan, dan lebih-lebih tidak hanya itu psikologi saat ini mencoba
membunuh Tuhan serta mempromosikan nilai-nilai Kaballah.
Kedua,
warisan Kaballah mencoba melanggengkan determenisme materi asbolut yang
tidak diciptakan dari ketiadaan, tapi sudah ada. Ini berbenturan dari
konsep manusia dalam Islam bahwa manusia diciptakan dari ketiaadaan. Al
Ghazali dalam Kitab Kimiatus Sa'adahnya sampai harus mengingatkan
perkara seperti ini dalam Bab Marifatullah-nya dengan sebuah ayat,
Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa (76: 1)
Dengan
melihat persekongkolan jilid awal dalam psikologi ini, tentunya
hegemoni Yahudi belumlah usai, masih banyak derivate dari nilainya yang
berkamuflase dalam psikologi dan konseling kedepannya. Semangat untuk
melawannya haruslah menjadi ijtihad semua umat muslim, baik mahasiswa,
dosen, akademisi, ulama, dan sebagainya.
Sumber: http://www.facebook.com/topic.php?uid=111548335540451&topic=27
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat, silahkan tinggalkan komentar sebagai bentuk saling berbagi...