. . . "Selamat Datang Semoga Bisa Menjadi Sarana Mempererat Ukhuwah" "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." Ballighu Annii Walau Ayyah

Jumat, 20 Januari 2012

Yang Membedakan Daniel Gilbert Dengan Imam Ghazali


Ada unsur yang menjadi pembeda antara Barat dan Islam, tidak lain adalah cara pandang tentang sesuatu (world view). Barat sangat menjunjung rasio dan spekulasi filosofis, sedangkan Islam berazaskan wahyu, hadits yang dikombinasikan dengan akal, pengalaman serta intuisi.

Pandangan Barat sangat dikotomis, selalu berubah dan terbuka ruang untuk dikritisi sedangkan ajaran Islam bersifat otentik dan final. Tak heran, apabila dalam mengkaji suatu masalah, ide-ide Barat hanya menyentuh hal-hal yang bersifat empiris, tidak menerobos sampai ke relung-relung metafisis. Termasuk pada topik kajian yang mengupas tentang ’makna bahagia’.

Apakah sesungguhnya arti bahagia? Bagi Leo Nikolaevich Tolstoy, seorang filsuf dan novelis Rusia, itu cukup ditulis lewat kata-kata bijak: ‘Jika anda ingin berbahagia, maka berbahagialah’.

Namun problematikannya adalah kita tidak tahu tolok ukur kebahagiaan yang dirasakan setiap orang. Lantaran semua orang mempunyai batasan sendiri tergantung pada situasi, kondisi dan cara masing-masing dalam mendifinisikannya.

Adalah Daniel Gilbert, seorang pakar psikologi di Harvard University. Ia sering mendapat penghargaan baik dalam bidang pengajaran maupun penelitian dalam disiplin ilmunya. Dalam buku ‘Stumbling On Happiness’, ia menulis kiat khusus agar kita menjadi insan yang berbahagia.

Dan sebenarnya tak sepadan bila dibandingkan dengan magnum opusnya Imam Ghazali: Alchemy Of Happiness ( Kimmiyah Al Sa’adah ). Kimia ruhani yang mentransformasi kehidupan layaknya proses kimiawi yang mengubah logam biasa menjadi logam mulia.

Khazanah ilahiah tersebut terkandung dalam hati para nabi. Dari dua buah buku ini kita semakin mudah membandingkan antaraworld view Barat dan Islam. Pandangan dunia Barat selalu bermuara pada hal-hal yang relatif, tentu saja jauh berbeda dengan perspektif Islam yang mengupas materi sampai ke akar masalah, dan akhirnya berlabuh pada sesuatu yang absolut: sang khaliq.

Gilbert merumuskan bahwa arti kebahagiaan adalah pengalaman subyektif yang sulit dijabarkan bahkan oleh diri kita sendiri. Apalagi sampai memprediksi kebahagiaan masa depan sebagai sebuah persoalan yang teramat pelik yang tak terpecahkan. Untuk membayangkan masa depan yang akan terjadi, kita mengandalkan otak.

Di dalam otak beribu-ribu informasi bisa terekam, namun kemampuan otak ada batasnya, bahkan terkadang otak sering menghilangkan memori yang tersimpan meski terkadang penting bagi kita. Hal ini mengakibatkan kita kehilangan detil informasi. Akhirnya cenderung menerima informasi dari luar otak tanpa reserve.

Padahal kita mengharapkan kebahagiaan masa depan akan terealisasi seperti yang diidamkan. Akhirnya imajinasi yang muncul merefleksikan sesuatu yang sangat paradoks. Perlu diingat, imajinasi tidak dapat menembus batas masa sekarang. Hal ini lebih disebabkan kita sering membayangkan masa depan seiring dengan asumsi yang terjadi pada saat ini.

Jadi kuncinya kita musti cerdas antara mengatur persepsi dan imajinasi. Pada dasarnya, kita sering membayangkan masa depan adalah masa sekarang yang telah dipoles dengan pernik-pernik manfaat dan hal-hal yang lebih baik.

Untuk menganalisa masalah ini diperlukan pengalaman. Harus dipahami, pengalaman sering memiliki makna ganda yang bisa diinterpretasikan dengan cara berbeda, kendati sebagian lebih positif dibanding yang lain.

Tahukah anda bahwa otak kita juga merekam sesuatu yang kasat mata. Kolaborasi antara otak dan mata memungkinkan terjadi keseimbangan antara realitas dan ilusi di luar kesadaran. Hal ini menyebabkan pandangan kita terhadap kebahagiaan masa depan bisa keliru. Bila pandangan saat ini masih bisa dikoreksi dengan kacamata masa silam, pandangan masa depan tak bisa dikoreksi dengan apapun.

Kendati demikian ada satu cara untuk mengatasinya yaitu dengan cara berlatih yang merupakan bagian dari proses pembelajaran. Aspek paling efektif adalah belajar dari pengalaman, termasuk pengalaman emosional orang lain, kendati sering kita acuhkan. Walau begitu, hasilnya terkadang tak seperti yang kita harapkan.

Dan akhirnya satu hal yang perlu digaris bawahi bahwa: kebahagiaan kita ada di tangan kita sendiri. Ada sebuah formula sederhana yakni menentukan masa depan dengan kemampuan meramal.

Tetapi harus diingat, meramal sering membuat kita melamunkan sesuatu yang sangat diidamkan, hingga melambung dan kenyatannya tidak semanis yang kita dambakan. Jadi sejatinya, tak ada rumus sederhana untuk memformulasikan makna kebahagiaan.

Secara detil Daniel Gilbert telah memaparkan argumennya. Sampai pada kesimpulan bahwa kebahagiaan itu sungguh sangat relatif. Dan semua orang bisa mendefinisikan dan mengaktualisasikan sesuai dengan caranya sendiri.

Sungguh ironis, bila kita bandingkan dengan pandangan Islam, konsep kimia kebahagiaan yang ditulis sang Hujattul Islam dalam risalahnya Perlu disadari, kebahagiaan sejati diperoleh melalui empat elemen: mengenal diri, mengenal Allah, dunia serta akhirat. Andai kita tak bisa mengenal diri, amatlah muskil kita bisa mengenal hal-hal lain.

Sejatinya, apakah kita termasuk kategori hewan, setan atau malaikat ? Hewan hanya memuaskan nafsu, makan, tidur dan berkelahi. Sedang setan sibuk mengobarkan tipu daya, kejahatan serta kesesatan. Malaikat senantiasa merenungkan keindahan Allah terbebas dari sifat hewani. Perlu disadari diri kita terbagi atas jazad sebagai bentuk luar dan hati atau ruh manifestasi bentuk dalam.

Berbeda dengan Gilbert, Al-Ghazzali menguraikan upaya perjuangan batin dalam mengenal diri yakni melihat jazad ibarat kerajaan, jiwa laksana raja dan indera bagai tentara, sedang akal merupakan perdana menterinya, syahwat sebagai pemungut pajak dan amarah ibarat polisi.

Syahwat selalu ingin merampas demi kepentingannya, amarah cenderung keras dan kasar, maka keduanya harus ditempatkan di bawah raja cerminan jiwa. Bila syahwat dan amarah menguasai nalar bisa dipastikan jiwa akan runtuh. Bila jiwa memberikan aspek rendah menguasai yang lebih tinggi diibaratkan seorang muslim menyerahkan diri kepada raja kafir yang zalim.

Akal berlimpah dengan pengetahuan dan kekuatan sehingga akan bisa menguasai sains dan seni. Lewat konsep kimia kebahagiaan, manusia berusaha menaikkan maqamnya dari tingkatan hewan menjadi malaikat. Manusia sebagai makhluk unggul harus sadar akan ketakberdayaannya, ini akan menjadi kunci pembuka untuk mengenal Allah.

Hadits Nabi Muhammad saw: Barang siapa mengenal dirinya, ia mengenal Allah.
Dengan merenungkan sifat dan wujud-Nya manusia akan sampai pada pemahaman sebagian pengetahuan tentang Allah. Lebih daripada itu dengan mengenali penciptaan diri akan memberi pemahaman akan keberadaan Allah. Cinta merupakan benih kebahagiaan, sedang cinta pada Allah bisa dikembangkan lewat jalan ibadah.

Dunia adalah tempat persinggahan para musafir dalam perjalanan ke tempat lain. Selama hidup di dunia manusia harus melindungi dan memelihara jiwanya serta merawat dan mengembangkan jazadnya. Melalui cinta pada Allah serta pengetahuan, jiwa akan terpelihara dan akan hancur bila mencintai selain-Nya.

Sedangkan jasad merupakan kuda tunggangan bagi jiwa yang nantinya musnah. Penting diwaspadai dunia cenderung menipu dan memperdayai manusia. Nabi Isa as menggambarkan dunia ibarat wanita tua yang buruk rupa. Walau begitu terdapat beberapa hal yang bisa dibawa seseorang dari dunia sebagai bekal ke alam akhirat yakni ilmu dan amal shaleh.

Bila kita beriman terhadap Al-Qur’an dan Hadits tentu saja tidak akan menafikan konsep nikmat surga dan siksa neraka. Sesungguhnya persoalan utama manusia di dunia adalah menyiapkan diri untuk kehidupan di akhirat kelak. Nalar mengajarkan bahwa akhirat itu ada dengan mempertimbangkan akibat yang terjadi. Keselamatan dunia akhirat terwujud bagi yang menjalankan ajaran Allah.

Sungguh sangat merugi bila menukar kebahagiaan abadi dengan dunia. Sementara yang kita miliki di dunia adalah bagian kecil dan kotor. Akhirat adalah dunia ruh yang merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah. Sedang kebahagiaan hanya diberikan pada orang yang menggapainya dan tertarik padanya, yang tercurahkan dalam zuhud, ibadah dan perenungan.

Ketertarikan pada kebahagiaan ukhrawi tak akan dirasakan oleh orang yang bergelimang dosa dan syahwat duniawi. Dan Allah menjanjikan barang siapa mencari dunia hanya akan mendapat dunia, sedang bagi yang mencari akhirat akan mendapatkan dunia dan akhirat.

Dari paparan di atas tergambar jelas kebahagiaan sejati akan kita raih bila senantiasa menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kebahagiaan yang digapai bukan hanya duniawi semata melainkan kebahagiaan yang lebih esensial: kebahagiaan di akhirat nanti.

Islam adalah sebuah agama yang paling lengkap dan final, mengatur kehidupan dunia dan akhirat. Allah telah menciptakan manusia serta melengkapinya dengan akal yang berlimpah dengan pengetahuan dan kebijaksanaan. Nah! Tugas kita mendayagunakannya untuk meraih kesucian batin yang didambakan setiap insan demi menggapai kebahagiaan hakiki.

Alhasil, manakah yang akan menjadi pilihan kita ? Argumen kebahagiaan duniawi ala Daniel Gilbert atau konsep kebahagiaan dunia-akhirat versi Imam Ghazzali ? Wallahu a’lam bi shawab (tri/pz/kazi)

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat, silahkan tinggalkan komentar sebagai bentuk saling berbagi...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites