. . . "Selamat Datang Semoga Bisa Menjadi Sarana Mempererat Ukhuwah" "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." Ballighu Annii Walau Ayyah

Kamis, 23 Februari 2012

Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita?


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (1) 
Selasa, 16/08/2011 14:27 WIB


“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.” 

Ucapan diatas dilontarkan oleh Muhammad Quthb, dalam sebuah ceramahnya puluhan tahun silam. Muhammad Quthb adalah ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad 20.

Ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis yang gencar melakukan perlawanan terhadap rezim Imperialisme Mesir, namun juga cendekiawan yang terkenal luas ilmunya. 

Beberapa bukunya pun telah beredar di Timur Tengah dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang diantaranya adalah Shubuhāt Hawla al-Islām (literally "Misconceptions about Islam"). Hal nahnu Muslimūn (Are we Muslims?). Al-Insān bayna al-māddīyah wa-al-Islām. (Man between the Material World and Islam). Islam and the Crisis of the Modern World dan masih banyak lagi. Maka tak heran, lepas dari penjara ia pun mendapatkan gelar Profesor Kajian Islam di Arab Saudi. 

Muhammad Quthb menekankan bagaimana pentingnya peran yang dimiliki seorang ibu dalam Islam. Ibu tidak saja adalah pihak yang dekat secara emosional kepada seorang anak, tapi ia juga memiliki pengaruh besar terhadap masa depan akhlak dari generasi yang dilahirkannya. 

Menurut Muhammad Quthb anak yang pada kemudian hari mendapatkan ujian berupa kehancuran moral akan bisa diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang solehah. Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya mengingat petuah-petuah rabbani yang pernah terekam dalam memorinya. 

Sebaliknya, ayah yang memiliki istri yang sudah rusak dari awalnya, maka ia pun hanya akan melahirkan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian persis dengan wanita yang dipinangnya. Sifat alami anak yang banyak mengimitasi perilaku sang ibu akan membuka peluang transferisasi sifat alami ibu kepada anaknya. 

Maka kerusakan anak akan amat tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya. Oleh karena itu, dalam bukunyaMa’rakah At Taqaaliid, Muhammad Quthb mengemukakan alasan mengapa Islam mengatur konsep pendidikan yang terkait dengan arti kehadiran ibu dalam keluarga. Ia menulis: 

“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.” 

Nah, konsep inilah yang tidak terjadi di Negara Barat. Barat mengalami kehancuran total pada sisi masyarakatnya karena bermula dari kehancuran moral yang menimpa wanitanya. Wanita-wanita Barat hanya dikonsep untuk mendefinisikan arti kepribadian dalam pengertian yang sangat primitif, yakni tidak lain konsep pemenuhan biologis semata. 

Dosen dan pelacur bisa jadi sama kedudukannya mirip dengan perkataan Sumanto Al Qurtubhy, kader Liberal didikan Kanada yang berujar, “Lho, apa bedanya dosen dengan pelacur? Kalau dosen mencari nafkah dengan kepintarannya, maka pelacur mencari makan dengan tubuhnya.” 

Qurthuby hanyalah muqollid (pengikut) dari Sigmund Freud, psikolog kenamaan asal Austria yang membumikan konsep psikoanalisis. Ia mengatakan ketika dorongan seksual sudah menggelora dalam diri pria maupun wanita, maka sudah selayaknya mereka tuntaskan lewat jalan perzinahan, tanpa harus melalui alur pernikahan. Maka itu Freud menuding orang yang senantiasa menjaga akhlaknya rentan terserang gangguan psikologis seperti neurosis. 

Kini Freud memang telah mati, namun gagasan itu membekas dalam pribadi orang Barat. Jika anda kerap menyaksikan berita Olahraga, pembawa acara sering memberitakan bahwa salah seorang pemain sepakbola di Inggris telah memiliki anak dari pacarnya, ya pacar dan bukan istri. Karena konsep pernikahan sudah mendebu di benua biru. 

Pasca kematian Freud, muncul banyak pengganti yang tidak lebih ekstrem, salah satunya Lawrence Kohlberg. Ia adalah pengusung metode pendidikan Karakter. Metode ini sudah gagal di Barat dan sekarang diimpor ke negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. 

Wajah pendidikan Karakter terlihat manis. Ia mentitah agar para siswa berperilaku jujur dan memegang komitmen. Namun ia tidak memliki dasar agama, jika seorang remaja memilih untuk hidup tanpa tuhan, tidak menjadi persoalan dalam pendidikan karakter, asal itu dapat dipertanggungjawabkan. 

Begitu pula masalah hubungan seks. Bagi Kohlbergian, kita tidak boleh menyalahkan seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah, sebab masalah baik atau buruk menjadirelative. Pendidikan Karakter pun tidak boleh menghakiminya, karena anak akan jatuh salah jika ia tidak bisa mempertanggungjawabkan hubungan seksnya. Jadi jika remaja perempuan hamil masih bisa terbebas dari "dosa", asal ia siap menjadi ibu. Urusan benar atau salah tergantung tanggung jawab, bukan agama. 

Maka tak heran, ketika Lawrence Kohlberg lebih memilih bunuh diri dengan menyelam di laut yang dingin pun disambut gembira oleh masyarakat Barat. Alasannya bisa membuat kita sebagai umat muslim tertawa: Kohlberg telah memilih jalan yang memang ia kehendaki. Ya terlepas dari dia yang akan masuk neraka jahnam. Sebuah metode berfikir yang terlalu konyol untuk kita fahami. 

Kita kembali lagi ke masalah perempuan. Kehidupan Barat yang bebas sejatinya diawali dari kehendak dari kalangan wanita untuk hidup bebas dan meredeka sesukanya. 

M. Thalib, cendekiawan muslim yang telah menulis puluhan buku tentang pendidikan Islam juga menekankan bagaimana proyek Zionis dibalik wacana pembebasan wanita di Barat. Menurutnya kaum Yahudi memiliki peran kuat dibalik slogan Liberty, Egality dan Fraiternity(kebebasan, persamaan dan persaudaraan) kepada bangsa Perancis. 

Hal ini dipropagandakan oleh Zionis dan disebarkan ke penjuru dunia hingga kita bisa merasakan apa yang disebut Hak Asasi Manusia dan Feminisme pada saat ini. 
Dalam bukunya, “Pergaulan Bebas, Prostitusi, dan Wanita”, M. Thalib menulis, 

“Slogan-slogan inilah yang membuat orang-orang bodoh turut serta mengulang-ulanginya di seluruh penjuru dunia di kemudian hari, tanpa berfikir dan memakai akalnya lagi.” 

Mungkin terasa ganjil bagi kita, mengapa Yahudi sebagai bangsa yang pongah begitu takut dengan perempuan? Jawabannya sederhana: membiarkan seorang wanita tumbuh menjadi solihah adalah alamat “kiamat” bagi mereka. 

Jika seorang ibu yang solehah bisa mengasuh 5 anak muslim di keluarganya untuk tumbuh menjadi generasi mujahid. Kita bisa hitung berapa banyak generasi yang bisa dihasilkan dari 800 juta perempuan muslim saat ini? 

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, "Siapakah manusia di muka Bumi ini yang harus diperlakukan dengan cara yang paling baik ?". Rasul menjawab, "Ibumu". "Setelah itu siapa lagi ya Rasul". Sekali lagi Rasul menjawab, "Ibumu". Sahabat bertanya kembali, "Kemudian siapa?". Lagi-lagi Rasul menjawab "Ibumu, baru Ayahmu". [Shahih, Diriwayatkan oleh Imam Bukhari). (pz/bersambung) 


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (2) 
Selasa, 23/08/2011 13:16 WIB


"Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. " 

Kalimat diatas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi massa perempuan untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita. 

Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique". Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita. 

Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18. 

Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender. 

Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi. 

Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminism, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik, 

“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?" 

Perdebatan antara Eisenstein dan Freidan yang sama-sama aktivis feminis hampir tidak pernah ditemukan dalam dunia Islam. Karena Islam bukanlah sebuah produk dari akal manusia, tidak juga lekang dimakan waktu, lebih-lebih relatif dalam standar manusia. NamunIslam adalah agama genuine yang langsung turun dari Allah SWT. 

Islam sebagai agama mulia, secara tegas mengatur posisi wanita sebagai madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu, dalam Islam mendapat posisi penting sebagai guru pertama anaknya, dan bukan kakek dari anaknya, nenek dari anaknya, bahkan ayah dari anaknya sendiri. 

Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar pendidikan pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Al Qur’an sendiri secara jelas melekatkan peran mulia seorang ibu yang simetris dengan peranan membangun rumah tangga mulia. Dalam surah Al Ahzab ayat 33, Allah berfirman, 

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” 

Banyak orang salah kira, bahwa surat Al Ahzab ayat 33 hanya berlaku spesifik kepada istri nabi, anggapan ini sungguh keliru. Karena Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang beriman dan Rasulullah SAW telah ditugaskan sebagai nabi yang menjadi panutan umat manusia. 

Islam disini bukan berarti melarang seorang istri bekerja, karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Tapi Islam hanya mendelegasikan bahwa sekalipun perempuan bekerja itu harus dalam kondisi darurat dan pekerjaan bukanlah sebagai pokok tugas utamanya, karena tugas utama mencari nafkah ada pada fihak suami sedangkan istri memiliki beban yang lebih mulia: orang pertama yang menyiapkan generasi rabbani. 

Perihal peran wanita dalam menyiapkan generasi emas Islam, Muhammad Quthb dalam bukunya Ma’rakah At Taqalidpun menulis, 

“Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian. Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak usah bekerja di luar rumah.” 

Kebenaran Al Qur’an dan konsep Islam dalam mendudukkan perang seorang wanita menjadi ibu di rumah memang terbukti benar dalam serangkaian penelitian. Di Inggris kini telah terjadi tren dimana para wanita sudah terfikir meninggalkan karirnya dan memilih untuk berkonsentrasi di rumahnya. 

Sebuah majalah wanita, Genius Beauty, maret lalu memberitakan bahwa para psikolog dan sosiolog Inggris menemukan bahwa 70% wanita Inggris meninginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama dengan pasangan mereka. Mereka memiliki kecendrungan untuk menjadi wanita yang lebih dekat kepada anaknya, ketimbang dengan “bos” nya. 

Bahkan Kathy Caprino dalam bukunya "Breakdown, Breakthrough" juga memiliki kesimpulan hampir sama. Ia meneliti banyak wanita yang terjun ke dunia pekerjaan cenderung tidak bahagia. Lima alasan terpopuler mengapa mereka tidak bahagia akan pekerjaan yang disandangnya menurut Caprino adalah: 

1. Merasa tidak akan bisa seimbang antara bekerja dan mengatur keluarga
2. Menderita Masalah Finasial parah
3. Tidak sungguh-sungguh menjalani bakat dan keahlian dengan hati
4. Merasa tidak berharga dan dihormati
5. Hanya mendapatkan sedikit hal positif dan kesenangan dalam pekerjaan 

Maka itu dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana peran ibu memiliki porsi terbesar dibalik tumbuh kembangnya seorang anak menjadi ulama kelas dunia. Imam Syafi’i misalnya, dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu sabar. Ketiadaan suami tidak membuat Ibunda Imam Syafi’i menyerah pada keadaan dan melupakan hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik dalam bidang agama. 

Kemiskinan pun tidak lantas membuatnya sungkan “melobi” seorang guru di al-kuttab (Sekolah Mengahafal Qur’an) untuk curhat bahwa dirinya tidak memiliki biaya bagi sekolah Imam Syafi’i. Bayangkan karena tidak punya uang untuk membeli kertas, Imam Syafi’i sampai harus menulis di pecahan tembikar, tulang belulang, hingga pelepah kurma. Dan berkat kegigihan sang ibulah, guru di Al Kuttab itu merasa luluh. 

Imam Syafi’i lantas betul-betul memanfaatkan momen belajar yang telah dibuka oleh ketegaran seorang ibu. Bayangkan, Imam Syafi’i sudah hafal Qur’an sejak kecil dan di umur 15 tahun telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Subhanallah. Tanpa kehadiran seorang ibu, mungkin saat ini kita hanya mengenal nama Imam Syafi’i sebagai orang biasa, bukan ulama kesohor yang kejeniusannya dalam perkara fiqh menjadi peneman kita saat mengalami kebingungan. 

Sayyid Quthb pun demikian. Ketika ditanya tentang masa kecilnya, Ulama Mesir itu hanya bisa berujar, “Setiap aku bermain, tidak ada suara yang kudengar selain tilawah Qur’an yang dibawa oleh ibuku”. Ibu seperti itulah yang melahirkan generasi penghafal qur’an dan pelawan imperialisme dalam satu keluarga, baik Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Aminah Quthb, Hamidah Quthb. 

Konsep Ibu yang paralel dengan pembinaan generasi berperadaban inilah yang tidak kita temui dalam agama-agama lainnya, seperti Yahudi maupun Kristen. Mereka memang berbicara tentang perempuan, tapi bukan perempuan yang melahirkan peradaban. Sebab jika memang perempuan mulia, tidak mungkin wanita dipanggil para pria dengan sapaan femina atau kurang iman. “The Very word to describe woman, femina, according to the authors (of Witchess Hammer) is derived from fe and minusinterpretated as less in faith,” kata Walter L. Liefeld dalam buku berjudul Daughter of Church. 

Terlepas apakah dasar etimologis kata femina itu benar atau sekedar olok-olok yang pasti perempuan di Barat dalam sejarahnya memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Tidak heran pada masa Inquisisi wanita menjadi korban penyiksaan dan pemerkosaan. Jadi Barat memang tidak memiliki pengalaman untuk membangun wanita beradab. 

Sebaliknya Islam menurunkan hikmah dan ibrah tentang dominasi peran ibu di dalam rumah yang tidak mesti dipusingkan oleh atribut karir dunia. Merekapun bahagia-bahagia saja. Maka tak heran, perintah menghargai ibu lebih pertama dititahkan oleh Allah ketimbang ayah. Dalam surah Al Ahqaf ayat 15, Allah berfirman, 

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: 

"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri". (pz/bersambung) 


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (3) 
Senin, 29/08/2011 09:26 WIB

Islam tidak menyukai wanita dilelahkan syarafnya dengan bekerja memeras tenaga. Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria. (Muhammad Quthb) 

Pada 4 Januari tahun 1988, koran New York Times merilis hasil penelitian mengenai psikologi wanita karir Yahudi di Amerika yang dilakukan seorang sosiolog di Gratz College, Philadhelphia. Survey bertajuk "Jewish Women on the Way Up: The Challenge of Family, Career, and Community'' ini melibatkan tidak sedikit para wanita Yahudi. Beberapa organisasi Yahudi pun mengumpulkan sekitar 1000 orang wanita Yahudi baik sebagai pebisnis maupun wanita professional untuk menjadi objek garapan dari penelitian serius ini. 

Penelitian sendiri disponsori oleh Komite Yahudi Amerika dan Majalah triwulanan berhaluan Feminis Yahudi bernama Lilith. Seribu wanita itu kemudian diberikan kuesioner dan diwajibkan untuk mengisi seluruh pertanyaan agar riset berjalan maksimal. 

Hasilnya, cukup menarik. Kesimpulan dari survei itu adalah bahwa sementara perempuan lain masih banyak menemukan diri mereka harus memilih antara pernikahan, karir dan melahirkan anak, wanita karir Yahudi justru berhasil memadukan ketiganya. Ini adalah sebuah temuan yang memang mendukung opini sebelumnya dimana perhatian Yahudi terhadap keluarga tergolong sangat tinggi. Wanita Yahudi yang bergelar sarjana, master, ataupun doktor mampu membagi peran antara seorang pekerja dengan status mereka sebagai seorang ibu. 

Meningkatnya jumlah wanita karir Yahudi yang membanjiri sektor ekonomi sebenarnya tidak terlepas akan dua hal.Pertama, faktor finansial Yahudi. Jika kita berkaca kepada sejarah, dominasi wanita Yahudi yang mewarnai lapangan pekerjaan tidak terlepas dari peran dinamika kehidupan mereka di Eropa. Lambannya Yahudi dalam menguasai sektor perekonomian, memaksa mereka memutar otak untuk membiayai kehidupan. Terlebih jumlah Yahudi sangat sedikit. Mereka juga banyak mengalami krisis identitas saat mengarungi diaspora ke berbagai Negara. Walhasil, diskriminasi Eropa terhadap mereka membuat banyak elite Yahudi memainkan peran wanita untuk menyambung keluarga. 

Namun peran yang begitu signifikan ada pada faktor kedua, yakni peran di balik layar mereka dalam memainkan skenario Revolusi Perancis. Perlu dicatat bahwa Revolusi Perancis sama sekali bukan garapan orang-orang Perancis yang ditujukan demi kebaikan rakyat Perancis itu sendiri. Revolusi Perancis digerakkan oleh agen-agen kepentingan asing (yahudi kapitalis internasional) dengan tujuan menghancurkan seluruh stuktur masyarakat dan negara Perancis untuk digantikan dengan "orde baru" yang sesuai dengan kepentingan mereka. 

Hal ini pun dikonfirmasi oleh dokumen Protocols of Learned Elders of Zion (Protocols of Zion), dokumen rahasia yang memuat rencana dominasi dunia oleh tokoh-tokoh yahudi. Protokol ketujuh dan pertama dokumen itu mengatakan: 

"Ingat dengan Revolusi Perancis yang kepadanya kita menyebutkan sebagai keberhasilan besar. Rahasia dari persiapannya dikenal luas di kalangan kita karena sesungguhnya itu adalah pekerjaan kita." 

"Kitalah yang pertama kali berteriak di antara massa 'Liberty, Equality, Fraternity.' Orang-orang gentile (non-yahudi) bodoh berdatangan dari seluruh penjuru untuk memakan umpan itu, dan bersama mereka melakukan 'kebaikan untuk dunia'. Bahkan orang-orang bijak dari gentile sedemikian bodohnya sehingga tidak mengerti bahwa pentingan asing." 

Dengan semboyan equality inilah feminisme menemukan momentumnya. Sebuah buku berjudul Vindication of The Rights of Women yang dikarang Mary Wollstronecraft pada tahun 1792 bisa kita ambil sebagai bahan kajian lebih jauh. Seperti dikatakan Rosemarie Putnam Tong dalam bukunyaFeminist Thought, Mary adalah wanita yang mendelegasikan feminisme gelombang pertama. Ia menggambarkan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran peran perempuan dari ruang publik. 

Marry Wollctronecraft yang mencoba bunuh diri sebanyak dua kali dan menolak menikah hingga usia yang lebih lanjut ini kemudian menginginkan bahwa perempuan bukanlah “mainan laki-laki atau lonceng milik laki-laki”. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat” atau isntrumen untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya perempuan adalah tujuan yang memiliki harga diri untuk menentukan nasibnya sendiri. dalam realitas tidak pernah ada persamaan dan kebebasan. 

Dalam perkembangannya, tren wanita karir menjadi suatu fakta yang tidak terelakkan. Feminisme berkembang menjadi ‘wahyu’ untuk menuntun para wanita dalam menuntaskan struktur keluarga yang sangat mengekang bagi perkembangan perempuan. 

Namun pemikiran Yahudi yang menggembar-gemborkan kebebasan untuk wanita dalam berkarir mulai menimbulkan dampaknya. Efek daripada ini berimbas kepada mulai dipertanyakannya kesimpulan bahwa wanita Yahudi mampu memadukan antara karir, keluarga, dan mengurus anak. Bahwa tidak semua wanita Yahudi bisa digambarkan sebagai sosok perempuan ideal seperti penelitian Lilith tahun 1988. 

Dalam catatan tingkat perceraian yang dirilis Divorcemag.com, pada tahun 2002 saja, tingkat perceraian di Israel yang hanya sebuah Negara kecil, mencapai angka 14%.Menariknya survey itu tidak mencatumkan negara-negara muslim sebagai Negara yang memiliki tingkat perceraian tinggi. Tercatat Negara mayoritas muslim seperti Turki hanya mencantumkan angka 6%. Itu pun jika kita mau mendebat penyebutan Turki sebagai Negara muslim mengingat bahwa Negara para Fatih tersebut masih setia dalam menerapkan hukum sekuler, dan bukan hukum Islam. 

Bahkan tingkat peceraian di Israel semakin tajam dari waktu ke waktu. Pada tahun 2006 saja, Pengadilan Administrasi Rabbinis mengemukakan bahwa di Yerusalem, kota yang didominasi religiusitas Yahudi, ada kenaikan tajam 10,4 % perceraian di kalangan keluarga Yahudi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 

Menariknya para pelaku perceraian di Israel justeru berasal dari kalangan religius Yahudi yang terkenal militan, radikal, fundamentalis atau bisa disebut sebagai kelompok ultra ortodoks yang diwakili oleh komunitas Yahudi Haredim. 

Komunitas Haredim sendiri adalah sebuah kelompok masyarakat Yahudi ultra-ortodoks yang menjadikan Taurat sebagai pegangan hidup. Jumlah mereka mencapai 10 % dari total 7,8 juta penduduk Israel. Dalam masyarakat Yahudi Haredim, semua yang berbau sekuler sangat dilarang. Kelompok ini juga mengharamkan para pengikutnya untuk memiliki radio dan televisi, terlebih lagi menontonnya. 

Kehidupan mereka sendiri sering diisi dengan saling bertukar kabar melalui poster yang ditempelkan di tembok jalanan. Lelaki dan perempuan yang bukan muhrim juga tidak diperkenankan untuk berduaan, apalagi berpacaran. Pernikahan pun diatur dengan sistem perjodohan. Gambar perempuan otomatis dilarang tampil di muka umum, dan tiap hari Sabbath, mereka mengeluarkan kebijakan untuk tidak boleh ada yang mengemudikan kendaraan. 

Namun yang menjadi menarik adalah bahwa kelompok yang memegang teguh Taurat seperti Heredim pun menjadi penumbang saham terbesar dalam perceraian keluarga Yahudi di Israel. Menurut Rabi Yitzhak Ralbag, petinggi di kantor pernikahan Yahudi (semacam KUA di Israel) banyaknya pasangan religius yang bercerai adalah suatu fakta yang menjadi pukulan telak bagi Yahudi. Seperti dikutip dari Jerusalem Post, Ralbag mengatakan, 

"I see it even among haredim when they come to register for marriage. More and more requests to marry are being made by haredi divorcees. Once it was an embarrassment." 

Jika tingkat perceraian saja, sudah menggerogoti kaum ortodok Yahudi, maka kaum sekuler pasti akan memiliki riwayat sama, jika tidak secara matematis mengalami hal yang lebih buruk. Nomor perceraian keluarga sekuler di Tel Aviv melonjak naik meski pada tingkat yang lebih moderat. Masih, menurut laporan Jerusalem Post, tercatat ada sekitar 3.007 orang Yahudi yang memilih untuk mengakhiri pernikahan mereka pada tahun 2006. Dalam data pengadilan, angka perceraian keluarga sekuler Yahudi ini naik 4,4% dari tahun 2005. 

Dan menariknya salah satu alasan perceraian dikalangan keluarga Yahudi disebabkan karena kesibukan ekonomi yang sedikit banyak membuat para wanita mengambil sektor pekerjaan. Kesibukan wanita Yahudi ini tentunya membuat mereka banyak menelantarkan keluarga. Wanita yahudi juga banyak menjalin kasih dengan pria lain dari hubungan pekerjaanya. 

Sebagai umat Islam, kita bisa mengambil pelajaran dari runtuhnya tatanan keluarga di kalangan Yahudi. Islam sebenarnya sudah bisa memprediksi kehancuran sebuah keluarga yang tidak hanya menimpa kaum kafir tersebut. Menurut Muhammad Quthb, dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid, Islam memang tidak menyukai posisi wanita yang mengambil jalan karir sebagai pilihan hidupnya. Sebab Islam, kata Muhammad Quthb tidak suka wanita dilelahkan fisiknya dengan bekerja memeras tenaga. Secara lebih jauh, Profesor Kajian Islam dari Universitas Arab Saudi itu menulis sebuah hal yang menarik, 

“Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria.” 

Oleh karena itu, menurut Muhammad Quthb, Islam adalah agama yang gigih menjamin seluruh esensial hidup wanita, tanpa mengharuskannya memburu, memeras keringat, demi mendapatkan sesuap nasi. Namun hal ini bukan berarti Islam kemudian melarang wanita bekerja. Karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Paling banter, Islam tidak menyukainya. Meski perlu juga dicatat bahwa keputusan wanita bekerja dapat dilakukan jika dalam situasi terdesak, darurat, dan memaksa perempuan untuk turun tangan, seperti ketika ia ditinggalkan suaminya. Namun terlepas dari situasi itu, perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Karena hak memberikan nafkah ada pada suami. 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (Annisa: 34) 

Maka bila seorang wanita menikah, hamil, lalu melahirkan, amanah perempuan yang pertama kali tertumpu pada dirinya adalah sektor rumah tangganya. Kenapa? Sebab perempuan memiliki peran strategis lagi mulia, yakni mempertahankan status tauhid seorang anak yang telah diberikan oleh Allah dan itu jauh lebih mulia ketimbang mereka mendahulukan karirnya. Maka itu tidak heran dalam sebuah hadis mengenai fitrah anak, Rasulullah SAW menyebut ibu pada posisi pertama sebelum ayah dalam mendidik agama anaknya, “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.” 

Dan proses seorang wanita menjadi sebenar-benarnya wanita tidak akan pernah berjalan baik, jika ia melupakan status utamanya sebagai seorang ibu. Proses ini pun juga mustahil terjadi jika seorang wanita lebih mendekatkan dirinya kepada karirnya ketimbang amanah besar yang diberikan Allah untuk menuntaskan hadis Rasulullah tersebut. Dalam hal ini, Islam bukan kemudian melarang wanita meraih pendidikan tinggi di luar rumahnya, karena menuntut ilmu wajib bagi seluruh umat muslim. Namun Islam mendelegasikan bahwa tugas keilmuan pertama yang mesti dipelajari seorang wanita adalah ilmu rumah tangganya, setelah itu baru ia bisa memilih jenjang pendidikan lain yang ia sukai. 

Karena Islam adalah agama satu-satunya yang tidak mengenal dikotomi keberhasilan seorang wanita yang sukses di luar rumah, namun meninggalkan jejak kehancuran di dalam rumahnya. Seperti Marry Wollstronecraft, yang katanya “sukses” menjadi feminis, tapi justeru sudah melakukan percobaan bunuh diri berkali-kali dan membunuh fitrahnya dengan tidak menikah sampai usia lanjut. 

Maka itu Islam sangat adil meletakkan proporsi perempuan baik sebagai ibu, penuntut ilmu, dan pengurus suami. Jauh lebih berkeadilan dan beradab ketimbang instrumen Lilth dalam menilai wanita Yahudi, yang pada perkembangannya bahwa keutuhan rumah tangga Yahudi tidak bisa dipertahankan. 

Maka, meminjam bahasa seorang penyair Arab maka peran ibu muslim disini bagaikan sebuah madrasah yang akan simetris, tidak saja pada perannya mendidik seorang anak, tetapi juga pada kadar kualitas generasi dimana ia tinggal.“Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”(pz/bersambung) 


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (4) 
Kamis, 08/09/2011 13:33 WIB

Ada sebuah kisah menarik ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasy pada jurnal Islamia INSISTS Volume III no. 5 tahun 2010 yang berjudul “Equality”. Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya yang seorang professional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai itu rumah tangga dengan 2 orang anak, Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera. 

Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Peter Berger, "The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape, motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power" (Keluarga sekarang Nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan). Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu tidak secuilpun terbesit dalam pikiran suaminya. 

Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih diurusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah dihadapi. Di dalam benaknya terbetik penyesalan, “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya terasa pincang. 

Benarlah wisdom dari Nabi: “Sungguh miskin! Wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin! Laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadith ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berfikir panjang untuk cerai. Asalkan dia tidak membaca hadith itu dengan hermeneutika. Ya sebuah penafsiran yang awalnya ingin melihat kitab suci lebih dinamik, tetatpi justru membunuh kitab suci itu sendiri. Dan Kristen tahu betul, teologinya rontok karena virus mematikan ini. 

Nah, mimpi Nancy sendiri adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmodernime yang sarat kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Jadi mimpi Nancy juga adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total. Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyamaka-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting-post postmodern. 

Cerita Hamid Fahmi diatas adalah realita tidak terelakkan di akhir zaman seperti saat ini. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah tayangan ramadhan di televisi ketua Pusat Studi Wanita UIN jutsru lebih mempertajam kembali problem itu. Ia mengatakan bahwa jangan menyekat wanita pada jurusan tertentu. Rupanya, menurutnya telah terjadi penggiringan bahwa wanita lebih pas menjadi guru dan beberapa jurusan soft lainnya, ketimbang bekerja pada sektor-sektor yang lebih maskulin. 

Kalau ucapan itu dikatakan pejabat UIN memang bisa jadi wajar , sebab mantan rektornya, Professor Azyumardi, ikut membenarkan teori Asghar Ali Engineer (Cendikiawan India) bahwa Al-Qur’an turun di tengah budaya patriarkal, sehingga bias gender dalam Al-Qur’an tak bisa dielakkan. 

“Saya kira benar. Secara historis, Al-Qur’an turun di tengah masyarakat Arab yang patriarkal (masyarakat yang didominasi laki-laki). Masyarakat waktu itu bukan hanya tribal oriented (yang berorientasi kabilah), tetapi juga male oriented (yang didominasi laki-laki). Perempuan Arab, yang kita tahu, ‘kan hampir tidak punya kedudukan apa-apa. Perempuan di mata keluarga adalah aib, sehingga hal ini yang menjadi salah satu alasan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan.” Tukas Azyumardi tahun 2001 saat diwawancara Jaringan Islam Liberal. Realita itu benar, tapi jika kemudian Al Qur’an menjadi bias gender, ini harus diperdebatkan. 

Tidak hanya itu, Azyumardi kemudian menyeret problem ketimpangan jender di Al Qur’an dengan membawa-bawa nama Tuhan. Ya, nama Tuhan dalam arti yang sesungguhnya dan bukan metafor. Menurut Azyumardi, kata ganti Tuhan yang dipakai Allah di Al Qur’an adalah bias gender. Al-Quran sendiri (dalam beberapa redaksinya) memang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa). Di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu, Al Qur’an bukan berarti ingin memberi kesimpulan bahwa Allah SWT sejatinya laki-laki, dan bukan perempuan. Karena Allah adalah Zat yang tidak memiliki jenis kelamim. Uniknya, Azyumardi ternyata memiliki pendapat lain. Dengarkan petikannya, 

“Kalau kita menggunakan analisis semantik memang ada benarnya. Misalnya, seperti yang sering digugat oleh para aktivis gender tentang kata ganti Tuhan yang selalu dipakai adalah (dia laki-laki). Atau mungkin fi’il yang digunakan adalah fi’il mudzakkar (fi’il laki-laki).” 

Padahal, kalaulah Azyumardi dan gerombolan feminis lainnya mau membaca sejarah, pemakaian kata perempuan sebagai Tuhan tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan perempuan itu sendiri, bahkan bisa jadi sebaliknya. Di zaman Yunani, salah seorang dewa terkejam justru adalah perempuan, seperti Dewi Ker (nama perempuan zaman Yunani). Dalam mitologi Yunani, ia adalah dewi yang haus darah dan secara kejam merobek jiwa dari tubuh yang sekarat lalu mengirimnya ke dunia bawah. Ribuan Ker berterbangan di atas area pertempuran, dan jika ada manusia yang mati, maka para Ker akan saling berebut seperti burung pemakan bangkai. Para Ker sebenarnya tidak berkuasa atas hidup dan mati manusia, namun sifat haus darah mereka menjadikan para Ker berusaha membuat orang-orang mati. 

Tidak hanya Ker, adalagi Eris. Dalam mitologi Yaunani, ia adalah dewi perselisihan. Karena kebiasaannya membuat pertengkaran, Eris akhirnya tidak turut diundang pada pesta pernikahan Peleus dan Thetis. Eris yang marah kemudian melemparkan sebuah apel emas bertuliskan "untuk yang tercantik" ke tengah-tengah pesta. Kejadian inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan Perang Troya. Nah, kalau sudah begini apakah Azyumardi dan Feminis lainnya ingin nama Allah diganti dengan “yang penting” perempuan? Kalau begitu ganti saja nama Tuhan kita dengan Ker. 

Maka itu sejatinya, gagasan Feminis di Indonesia yang selama ini memakai klaim agama demi memulusukan misinya, tidak lebih sebagai penggugu tradisi feminis yang terjadi pada domain Kristen. Cross, F.L., dalam "The Oxford Dictionary of The Christian Church"dengan baik menuliskan fakta untuk memperkuat itu. Kata Cross, ide pokok dalam teologi feminis adalah keberatan terhadap tradisi kekristenan tentang hubungan antara perempuan dengan keilahian. Teolog-teolog feminis berpendapat bahwa perempuan dapat menggambarkan Allah, baik secara penuh maupun terbatas, sama seperti Allah yang digambarkan melalui laki-laki. Feminis juga berusaha untuk melihat kekayaan dan keterbatasan dari Alkitab dan literatur Kristen, serta berusaha untuk memberikan perubahan pemikiran, baik di Gereja maupun dalam institusi akademis. Jadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Islam. 


Celia Deane-Drummond, professor theologi di University of Chester, Inggris juga menyatakan demikian. Dalam bukunya, "Teologi dan Ekologi", Deane-Drummond melihat bahwa tradisi Kristen dimana Alkitab yang ditulis oleh laki-laki telah menekankan dominasi figur pria atas wanita. Hal itu membuat hubungan-hubungan hierarkis yang menekankan bapak sebagai kepala, yang pada perkembangannya membuat ketidakadilan bagi perempuan. Ini wajar, karena Kristen memang bermasalah. 

Bagaimana mungkin sebuah kitab suci untuk rujukan umat manusia, justru ditulis oleh manusia itu sendiri. Bandingkan dengan tradisi Islam dimana Allah pernah menantang para penyembah berhala yang masih ragu dan menuduh Al Qur’an hanyalah karangan Nabi Muhammad saw. Allah mendokumentasikan ini di surah Al Baqarah. 

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al Baqarah: 23) 

Apa yang dialami Kristen tidak pernah terjadi dalam dunia Islam. Para isteri Nabi saw. sendiri adalah para perempuan yang memikul tanggung jawab untuk mendidik kaum muslimin sebagai pengamalan dari perintah Allah swt. 

“Sebutlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.” (Al Ahzab: 34) 

Al Qasimi dalam tafsirnya (jilid 13: 4859) mengungkapkan bahwa yang dimaksud ayat-ayat Allah ialah Al Qur’an, sedangkan Al Hikmah adalah sunnah Nabi saw. Oleh karena itu rumah-rumah Rasulullah saw. menjadi pusat pendidikan Islam selain di mesjid. Dan itu ikut membawa istri beliau-beliau sebagai pembangun peradaban. 

Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri adalah isteri nabi yang mengambil bagian terbanyak dalam periwayatan hadis. Tercatat beliau meriwayatkan hadis hingga mencapai angka 2220 hadis. Maka tak heran, menurut Abdurrahman Al Baghdadi dalam bukunya “Emansipasi Dalam Islam”, pada gilirannya peran Aisyah dalam sejarah umat Islam sangat mewarnai fiqhul Islam, kehidupan berfikir, beragama, termasuk berpolitik bagi kaum muslimin. 

Selanjutnya, Ibnu Saad dalam karangannya “Tabaqaad” (jilid 2) dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu menyatakan bahwa manakala sahabat Rasulullah saw. ragu akan suatu masalah, mereka segera menanyakannya kepada Aisyah. Dan menurut riwayat dari Qubaishah bin Dzuaib dinyatakan bahwa Aisyah tergolong perempuan yang paling luas ilmunya diantara manusia, sehingga orang-orang terkemuka dari sahabat nabi saw. menjadikan Aisyah sebagai tempat bertanya 

Rupanya, tidak hanya Aisyah, perempuan yang mampu membuat cetak sejarah gemilang dalam sejarah Islam. Beberapa wanita Islam lainnya tercatat menjadi masyhur dalam medan peperangan. Diantara nama-nama itu adalah Asma binti Abu Bakar Ashshidiq, Asma binti Yazid bin Asakan, Ummu Amarah, Nasibah binti Ka’ab dan sejumlah wanita lainnya. Namun apakah para feminis turut mendelegasikan peran perempuan dalam jihad? Tidak, karena standar keberhasilan mereka, justru ketika Islam menjadi mundur. 

Keniscayaan sejarah bahwa wanita muslim memiliki peran dalam kehidupan, tidak membuat kemudian mereka besar kepada dan ikut-ikutan latah meminta bahwa mereka lebih tinggi dari pria. Aisyah pun tidak pernah merasa lebih tinggi dari Nabi. Dan sudah fitrahnya memang wanita ingin dilindungi oleh laki-laki. Allah berfirman, 

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” 

Makanya, kebenaran ayat Qur’an bahwa laki-laki pelindung bagi perempuan menjadi keniscayaan. Bahwa semakin maraknya perempuan menguasai segala sektor tidak mesti membuat negara itu maju. Seperti disitir dari tulisan Hamid Fahmi, prosentase anggota parlemen di AS misalnya hanya 10.3% di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi. 

Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dsb total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang para wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara. Menarik… (Pz/bersambung) 


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (5) 
Kamis, 15/09/2011 14:37 WIB

Seorang psikolog terlihat resah. Ia diberitahu oleh seorang psikolog muslim yang juga rekannya yang baru saja berhasil menasehati orangtua seorang anak. Pasalnya mungkin tidak sepele, psikolog muslim itu menerima aduan “unik” dari orang tua yang memiliki anak berusia tiga tahun. 

Rupanya anak ini memiliki kebiasaan tidak lazim. Ia sering terlihat tidak bisa tenang, mudah meledak dan, juga menyimpan kebiasaan aneh: kerap menggaruk-garuk (maaf) anusnya. Lalu sebagai seorang psikolog muslim, pada orangtua si anak, ia mengatakan bahwa tingkah laku anaknya normal. Dengan ilmum psikologinya, ia menganalisa perangai itu disebabkan karena anak sedang menjalani sebuah tahap perkembangan seksual yang normal pada masa anal. “Itu biasa, bu. Tidak usah khawatir,” begitu kira-kira pesan si psikolog muslim itu kepada sang ibu. 

Mendengar cerita ini, si psikolog tadi tercengang. Ia kaget mendapati seorang seorang psikolog muslim memberi nasehat dengan kata-kata seperti itu. Karena bagaimana tidak? Nasihat psikolog muslim tersebut nyata-nyata didasarkan pada teori Freud. 

Sigmund Freud menyatakan bahwa kepuasaan insting seksual seorang anak pada usia ini diperoleh dengan cara menahan dan mengeluarkan kotoran. Halitu akan sedikit banyak membuat anak kerap menggaruk bokongnya berkali-kali sebagai sebuah kenikmatan. Freud memang beranggapan sumber kebahagiaan manusia bukanlah agama, namun seksualitas. Agama justru sebaliknya. Ia adalah ilusi. Ilusi yang sengaja diciptakan manusia dari mimpi-mimpinya. Seperti jika kita berdoa, kita tahu Tuhan tidak terlihat, tapi Tuhan sengaja “dihadirkan” manusia agar yakin doanya makbul. 

Ya kisah diatas dibacakan oleh DR. Malik Badri pada tahun 1975 dalam rapat tahunan ke-4 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Muslim (AMSS) Amerika dan Kanada.DR. Malik Badri sendiri adalah seorang akademisi muslim asal Sudan yang kini mengajar di Fakultas Psikologi, Universitas Kebangsaan Malaysia. Saat itu secara lantang ia membawakan makalah berjudul “Psikolog Muslim dalam Liang Biawak”. Tulisan itu sendiri mengguncang denyut nadi tiap ilmuwan muslim yang hadir atas sekularisme ilmu yang melanda mereka. 

Kata akademisi yang beberapa bulan lalu sempat mengunjungi Indonesia itu, pemakaian kalimat “dalam lubang biawak” sengaja dipakainya karena bersumber dari hadis terkenal Nabi Muhammad SAW ketika beliau meramalkan bahwa akan tiba saatnya nanti orang-orang Islam secara membabi buta mengikuti cara hidup orang-orang Yahudi dan Kristen. “Hal ini dengan indahnya diungkapkan dalam pernyataan nabi: bahkan jika mereka masuk dalam lubang biawak sekalipun, orang Islam tanpa pikir panjang akan mengikutinya,” tulis DR. Malik Badri pada makalah yang kini telah menjadi buku berjudul “Dilema Psikolog Muslim”. 

Rupanya inflitrasi teori dari seorang pengikut mazhab Hasidisme Yahudi bernama Sigmund Freud itu betul-betul menghabisi harga diri perempuan. Tengoklah pengembangan ide yang digariskannya pada teori (maaf)penis envy (kecemburuan penis) miliknya. 

Menurut Freud, anak perempuan pada usia tiga tahun memiliki kecemburuan pada anak lelaki. Mereka berkembang menjadi pribadi minder karena merasa iri tidak memiliki penis layaknya anak laki-laki. Mulai detik itu, kata Freud, perempuan mulai membenci dirinya. Ada perasaan tidak adil meliputi hati tiap wanita cilik. Mereka tidak terima nasib ditakdirkan Tuhan berbeda jenis kelamin dengan pria. Selanjutnya, terang psikologi Yahudi itu, jika hal ini tidak teratasi, anak cenderung menjadi pribadi introvert dan rendah diri pada masa dewasanya. Jadi masa lalu sangat mewarnai kehidupan masa depan. 

Tidak hanya itu, Freud juga menguliti kepribadian anak-anak wanita dalam titik terendah. Kata Freud, anak wanita berumur tiga tahun memiliki keinginan untuk meniduri ayahnya, ya dalam arti sebenarnya. Kecintaan besarnya terhadap ayah, membuat anak perempuan diwarisi kedengkian terhadap seorang ibu. Inilah yang kemudian menjadi “sabda” dunia psikologi abad 20 atas apa yang disebut dengan Kompleks Oedipus. 

Zakaria Ibrahim dalam bukunya ”Psikologi Wanita”membeberkan fakta yang lebih sadis lagi. Ia menemukan bahwa sebagian psikolog mengklaim proses inilah yang menyebabkan kenapa banyak anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Pernahkah kita mendengar kisah Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur? Ya kira-kira seperti itu ide sinting Freud. 

Setali tiga uang namun beda ruang, seorang feminis, Simone de Beauvoir, berpendapat senada. Ia menilai bahwa pada gilirannya anak perempuan menemukan pengganti penis pada boneka. Padahal penis merupakan mainan alami bagi anak laki-laki karena ia menemukan alternatif dari keinginannya. Karenanya, kata De Beauvoir banyak para pendidik menggunakan media boneka bagi anak perempuan. Feminis Perancis yang menulis buku berjudul “The Second Sex” ini juga mengatakan jika perbedaan antara penis dan boneka adalah bentuk yang pertama memiliki kelebihan berupa aktivitas dan kemandirian ego, sedangkan boneka hanyalah sesuatu yang pasif tanpa memilki kemampuan yang egois, walupun menyerupai tubuh manusia sesungguhnya. 

Kita lihat betapa hancurnya teori ini jika kemudian diadopsi para psikolog muslim, orangtua muslim, pendidik muslim, dan lain sebagainya baik secara langsung maupun tidak. Bahwa memang benar jika manusia dipengaruhi oleh masa lalu yang kelam, tapi tentunya tidak berarti manusia tenggelam menjadi korban masa lalu secara berkepanjangan. Allah berfirman, 

“ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah Perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, Maka Sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al Ahzab 70-71) 

Daniel Goleman, mantan redaktur sains tingkah laku di New York Times mengatakan bahwa gambaran Freud tentang diri manusia merupakan model paling dekat yang dapat diraih peradaban Barat. Di Seville, Spanyol pada tahun 1986 sekelompok ilmuwan bertemu, termasuk ahli-ahli psikologi, ilmuwan syaraf, ahli genetika, antropolog, dan ilmuwan politik, dan menyatakan bahwa tidak ada dasar ilmiah bagi anggapan bahwa manusia seperti yang digambarkan oleh Freud. Freud dinilai mengada-ada dan terlalu memaksakan percepatan kedewasaan psikologis manusia bahwa anak berumur tiga tahun sudah mempunyai birahi tinggi untuk meniduri orangtuanya. 

Bahwa manusia pernah memiliki masa lalu, iya. Tapi tidak kemudian masa depan itu sudah ditentukan sejak dini. Karena banyak anak perempuan yang memiliki masa terkelam sekalipun bisa berubah seiring hidayah dan ketakwaan. Karena Islam tidak membunuh fitrah kebaikan. Bahwa manusia memiliki nafsu pasti, tapi Islam menggarisi bahwa nafsu seksual bisa disalurkan ketika wanita halal sudah digenggamnya. Akhirnya, Islam menjadikan pernikahan, bukan sekedar pelampiasan nafsu manusia, tapi lebih daripada itu, Islam menjadikannya sebagai jalan untuk membentuk generasi rabbani. Hasan Al Banna dalam Hadits Tsulasa, berkata.. 

“Kehidupan rumah tangga adalah ‘hayatul amal’. Ia diwarnai oleh beban-beban dan kewajiban. Landasan kehidupan rumah tangga bukan semata kesenangan dan romantika, melainkan tolong- menolong dalam memikul beban kehidupan dan beban dakwah…” 

Jadi jelas hadis Rasulullah, yang menentukan seorang manusia menjadi Majusi, Yahudi, dan Nashrani adalah orangtuanya. Tepatnya transfer pendidikan dari orangtua untuk terus menjaga ketakawaan anaknya, jadi bukan masalah alat kelamin. (pz/bersambung) 


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (6) 
Jumat, 23/09/2011 13:47 WIB 

“Timbulnya sikap atau pandangan popular yang menyatakan bahwa anak selalu benar hanya akan membuat anak tidak bisa menghargai orangtuanya.” (Prof. Malik Badri, Psikolog Muslim) 

Dekade 2000-an adalah tanda dari ekspansi konsep pendidikan “Don’t say no to Children” yang menyapu para pemikiran orangtua, khususnya Ibu. Dalam konsep ini seorang Ibu diharamkan untuk menggunakan kata tidak/jangan pada anak-anak. Seperti ‘jangan bandel’, ‘jangan nakal’, ‘jangan malas’ dan lain sebagainya. Sebisa mungkin kata-kata itu dihindari dan diganti kalimat positif seperti menggunakan perintah ‘rajinlah’ sebagai kata ganti ‘jangan malas’. Sekilas konsep ini menarik, anak-anak diajarkan untuk lebih berani mengapresiasi diri. Orangtua pun digembleng untuk lebih ‘menghargai’ potensi anak untuk berkembang. Sebab, menurut konsep ini, pemakaian kalimat negatif cenderung mengekang. 

Bahwa kita harus menyertakan alasan ketika memakai kata jangan kepada anak, iya. Tapi penafian kata jangan dalam konsep pendidikan akan berbuah fatal. Karena dalam konsep pendidikan Islam penegasan itu sangat penting, karena Islam adalah sebuah agama dengan kandungan perintah dan juga larangan. Konsekuensi dari keimanan itu adalah bahwa Islam adalah agama yang akan mendelegasikan kata “jangan’ dalam firmanNya. 

Oleh sebab itu, sebuah kalimat tauhid yang secara agung dikumandangkan oleh pria mulia bernama Lukmanul Hakim kepada anaknya didokumentasikan secara utuh dalam Al Qur’an. 

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". 

Adalah keunikan tersendiri jika kita mengkasi surat ini, lihatlah redaksi yang dipakai Lukman. Ia lebih memilih mengedepankan kata penafian, “Jangan mempersekutukan Allah”, ketimbang “Sembahlah Allah.” Sebab pendidikan anak dalam Islam adalah satu rel khusus dimana penegasan menjadi keniscayaan. Dan penegasan tidak dapat terjadi ketika menghilangkan separuh konsep larangan. Dengan memakai kata jangan, Lukman ingin menutup peluang pengakuan adanya Ilah lainnya yang patut disembah. 

Rupanya itu bukan satu-satunya kasus, dalam ayat lain Allah juga memakai kata jangan pada beberapa ayat, 

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali-Imran [3] : 102) 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 51) 

“Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh penampilan orang-orang kafir di berbagai negeri. Itu hanyalah kesenangan sejenak, kemudian tempat kembali mereka adalah (neraka) Jahannam, dan itulah tempat yang paling buruk. Namun bagi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya adalah surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, sebagai tempat tinggal di sisi Allah. Apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran [3]: 196-198) 

Memang di satu sisi kelemahan kebiasaan mengatakan tidak pada anak perlu dikritisi. Ini terjadi karena pada gilirannya, jamak terjadi perkataan tidak dibarengi oleh sebuah penjelasan. Ini yang harusnya dihindari, padahal jika kita kembali merujuk pada nasihan Lukmanul Hakim pada anaknya, perintah larangan dibarengi dengan maksud. 

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". 

Namun membuang konsep 'jangan' dan 'tidak' pada anak, lebih buruk dari sekedar menghindari kata jangan pada anak. Malik Badri dalam bukunya, “Dilemma of Muslim Psychologist” pernah menyinggung hal ini. Menurutnya para psikolog muslim dan Arab kerap termakan dogma dari psikolog Barat yang menyatakan bahwa “orang tua selalu berada pada fihak yang salah. Sebaliknya berkembangnya sikap atau pandangan yang menyatakan bahwa “anak selalu benar” hanya akan membuat anak menjadi tidak bisa menghargai orangtuanya. 

“Saya seringkali mengatakan pada teman-teman yang penuh semangat belajar psikologi anak modern, khususnya terhadap mereka yang hidup di Negara-negara Barat dan dalam masyarakat Islam modern; ‘Jika Anda menginginkan anak-anak Anda tumbuh menjadi remaja yang suka meletakkan kaki atau sepatunya di meja ketika ia berbicara dengan Anda, seperti yang Anda lihat di Film-film Amerika; dan jika Anda menginginkan mereka menaruh Anda dan ibunya di tempat penitipan orang tua setelah Anda menjadi jompo, maka ikuti saja dengan membabi buta nasehat psikologi Barat itu'” 

Rupanya konsep pelarangan kepada anak tidak saja datang dari dunia Islam. Anthony Storr, seorang psikiater asal Inggris yang banyak melahirkan buku, tidak lepas untuk berbicara mengenai hal itu. Dalam bukunya “The Integrity of Personality”, yang telah menjadi Doktor sejak tahun 1944, mengomentari sikap para psikolog yang tidak menyutujui sikap resktriktif (batasan atau pelarangan) orangtua kepada anaknya. Ia menulis, 

“…orangtua terkadang mendapat dirinya diktritik hanya karena peran mereka sebagai orangtua. Orangtua dikatakan “baik” jika mereka menunjukkan sikap protektif atau melindungi, dan dikatakan “buruk” jika menunjukkan sikap restriktif atau mengadakan pembatasan-pembatasan: dank arena proteksi tidak mungkin dilakukan tanpa restriksi, maka tidak ada satu orangtua pun yang dapat melepaskan diri dari dua predikat yang saling bertentangan ini..” 

Pada perkembangannya, Malik Badri mewanti-wanti para orangtua muslim untuk berkaca kepada keruntuhan moral pada anak-anak Barat. Tragedi memudarnya sikap respek anak kepada orangtua diakibatkan dari lunaknya pemberian hukuman dari para orangtua. Dan Islam bersama kitab suci Al Qur’an sudah menetapkan relasi anak dan orangtua yang dibungkus sikap mulia. Dalam surah Al Israa, Allah berfirman, 

“ dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al Israa: 23-24) 

Jalur masuknya konsep “Don’t say no to children” bisa kita lihat sejak psikologi humanisme mengetuk pintu jiwa manusia modern tahun 1950-an. Pasca runtuhnya Psikoanalisa dan munculnya Behaviorisme, Barat masih belum dapat mendefinisikan manusia secara utuh. Jika psikoanalisa menyatakan tiap manusia ditakdirkan sakit dengan ketegangan libido yang membelitnya, maka Behaviorisme menginterupsi psikoanalisa dengan menampik faktor fisiologis sebagai keladi dari kepribadian manusia. Tokohnya adalah Ivan Pavlov disusul Edward Thorndike, John B. Watson, Albert Bandura, dan B.F Skinner. 

Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia diciptakan dari hasil belajar, bukan masa lalu seperi klaim kaum psikoanalis. Behaviorisme tidak mau mempersoalkan apakah manusia baik atau jelek, rasional atau emosional; mereka hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalikan oleh faktor-faktor lingkungan. 

Nah pada titik inilah, para psikolog tidak setuju. Mereka menilai gagasan kaum behavioris seperti merendahkan derajat manusia. Manusia ditafsirkan tidak memiliki jiwa karena hanya dibentuk oleh lingkungan. Padahal manusia memiliki potensi insani untuk mengubah lingkungan. Akhirnya tridente Yahudi Carl Rogers, Abraham Maslow, Erich Fromm dan lainnya menelurkan gagasan psikologi humanisme. 

Namun pada gilirannya humanisme pun berkembang menjadi aliran psikologi yang begitu mengagungkan manusia. Mereka banyak terpengaaruh filsafat eksistensialisme yang terkenal dengan diktumnya Jean Paul Sartre bahwa "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. (pz/bersambung) 


Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (7-Habis) 
Kamis, 06/10/2011 13:34 WIB 

“Angka Kelahiran Non Yahudi harus ditekan sekecil mungkin” (Zohar II 4B) 

Selain Taurat dan Talmud, kitab lain yang sama pentingnya bagi Yahudi adalah Zohar. Menurut para rabbi Yahudi (ingat menurut versi para rabbi), kitab ini merupakan Mishnah ketika Nabi Musa berada di gunung Sinai. Beliau tidak mendiktekannya kepada Joshua (Jusa’ bin Nuh) atau kepada tetua Bani Israel tetapi kepada Nabi Harun secara langsung. Lalu Nabi Harun mendiktekannya kepada Eliyazar sehingga ajaran-ajaran lisan ini dikitabkan dan dinamakan Zohar yang berarti Cahaya. Kitab ini juga menjelaskan dan komentar terhadap Taurat. 

Namun pada gilirannya, kitab Zohar dipenuhi dengan ayat-ayat yang bersifat rahasia dan amsal. Ayat-ayat itu pun hanya dapat dipahami melalui Kitab Yetzerah, semacam kitab terjamah bagi penafsiran Zohar. Beberapa abad sesudah Masehi, di Eropa muncul kitab ajaran Kabbalah baru bernama Sefer Bahir, Kitab Cahaya. Ketiga kitab itu semuanyan diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa. Kitab-kitab itu memuat ajaran sangat suci bagi sekte kultus sesat, penyembahan kepada Iblis, dam menjadi buku pegangan gereja-gereja Iblis di seluruh dunia. 

Salah satu manifesto kaum Zionis yang terekam dalam Zohar adalah bagaimana menekan laju populasi bangsa Non Yahudi hingga pada titik terendah. Caranya bisa bermacam-macam, dari mulai dengan cara kasar seperti pembunuhan sampai cara halus layaknya penipuan seperti terekam dalam ayat lainnya. 

“Orang-orang Yahudi harus selalu berusaha untuk menipudaya orang-orang non-Yahudi.” (Zohar I, 168a) 

Keluarga Berencana selama ini dijadikan market Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto, demi perataan antara populasi penduduk dengan cadangan keuangan Negara. Rupanya menurut The Smilling General, banyaknya anak adalah keladi bangsa besar ini menjadi miskin. Maka tahun 1970-an ia meneken Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang pembentukan badan untuk mengelola program KB yang telah dicanangkan sebagai program nasional. 

Sejatinya, Indonesia hanyalah satu dari circle yang digulirkan Zionis untuk menekan laju penduduk bumi. Di China mereka menjalankan Program Kebijakan Satu Anak atau jìhuà shēngyù zhèngcè. Lain lagi dengan negeri samba, disana orang-orang menyebut KB dengan Planejamento Familiar. Di India dijalankan kebijakan National Population Policy. Negeri beruang merah Uni Sovyet ada program perencanaan kependudukan yang mereka namakan Kontrolya V Oblasti Planirovaniya Sem’i Naseleniya. 

Lalu siapakah Tokoh Yahudi modern yang ‘berjasa’ atas ini semua? Namanya memang tidak setenar Darwin, tapi gagasan Evolusionis tokoh Atheis itu merujuk padanya. Iya, dia pria itu bernama Thomas Robert Malthus (1766-1834) 

Thomas Malthus, sejatinya adalah seorang pakar demografi Inggris sekaligus ekonom politk yang paling terkenal karena pandangannya yang pesimistik namun sangat berpengaruh tentang pertambahan penduduk. 

Bagi Malthus, pertumbuhan sumber daya manusia tidak simetris dengan potensi sumber daya alam. Dalam An Essay on the Principle of Population (Sebuah Esai tentang Prinsip mengenai Kependudukan), yang pertama kali diterbitkan pada 1798, Malthus membuat ramalan yang terkenal bahwa jumlah populasi akan mengalahkan pasokan makanan, yang menyebabkan berkurangnya jumlah makanan per orang. Pada titik inilah kekacauan akan terjadi. Dan apa yang diramalkan Darwin dengan nama Survival for the fittest akan menjadi keniscayaan. 

Rupanya tesis Malthus juga tidak orisinal. Pandangan-pandangan Malthus umumnya dikembangkan sebagai reaksi terhadap pandangan-pandangan yang optimistik dari ayahnya dan rekan-rekannya, terutama J.J Rousseau. Ya tokoh pendidikan anak, yang justru membuang lima anak haramnya ke rumah sakit pungut itu. 

Anehnya solusi yang ditawarkan Malthus untuk meredakan kemelut itu seakan menyelisihi Islam, yakni apa yang ia sebut sebagai preventive checks atau penundaan perkawinan. Ide Malthus itu kini dikampanyekan oleh salah satu lembaga KB di Indonesia dengan pemeran salah seorang artis ternama. 

Pada gilirannya, ide Malthus yang masih sederhana dibuat menjadi praktis oleh kalangan Barat. Maka, muncullah kondom dari Maria Stopes (1880-1950). Alih-alih alat ini digunakan sebagai bagian dari kontrasepsi, namun pada gilirannya mereka justru mengkampanyekan seks bebas. Persis seperti penggiat HIV/AIDS era akhir zaman seperti sekarang. Bukan mengatasi akar masalahnya, namun hanya menambah masalah.Bahkan di Inggris pada tahun 2010,Maria Stopes Organization membuat sebuah layanan iklan untuk mengkampanyekan Aborsi. 

"Penelitian menunjukan bahwa 42 persen orang usia dewasa masih belum mengetahui kemana mereka harus pergi untuk menyelesaikan masalah 'kehamilan yang tidak diinginkan' ini, meskipun dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa satu dari tiga wanita di Inggris telah melakukan aborsi satu kali seumur hidup mereka,'" ungkap Judy Douglas dari Maria Stopes kepada Sky News Online. 

Iklan ini jelas memancing perdebatan karena ada sebagian pihak di Ingrris yang tidak menyetujui mengenai penayangan iklan ini salah satunya adalah salah satu LSM anti aborsi seperti Pro Life. 

Islam sebagai agama mulia sepanjang zaman telah mengatur persoalan ini. Bahwa banyaknhya anak bukanlah petanda kemiskinan seperti yang digembar-gemborkan Malthus dan kronco Yahudinya di PBB. 

Oleh karenanya, yang menjadikan sebagian manusia mengalami kemiskinan atau krisis pangan tidak lain adalah tangan-tangan tipu daya yang dimainkan kaum kapitalis, seperti terjadi di Somalia baru-baru ini. 

Allah SWT berfirman, “Dan tidak ada satu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberi rizkinya.” (QS 11 : 6). Maka itu tak heran Aa Gym pernah berkata, “Kenapa kita takut akan rezeki Allah, gajah aja gak sekolah gemuk-gemuk. Plankton yang hidup didasar laut saja diberi rezeki, bagaimana dengan kita sebagai makhluk hidup yang mulia?” 

Jadi buat apa wanita muslim takut memiliki banyak anak? Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” [Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Hibban dan Sa’id bin Manshur dari jalan Anas bin Malik]. Jadi, ayo para ibu muslim, cetak generasi bertauhid sebanyak-banyaknya! Allahua'lam. (pz/habis)  eramuslim.com

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat, silahkan tinggalkan komentar sebagai bentuk saling berbagi...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites