. . . "Selamat Datang Semoga Bisa Menjadi Sarana Mempererat Ukhuwah" "Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah." Ballighu Annii Walau Ayyah

Jumat, 20 Januari 2012

Bila Datang Seorang Saleh

Setelah mengetahui bahwa pria yang ia idam-idamkan tak tertarik dengannya, gadis itu pun duduk dan terdiam. Tiba-tiba seorang pria berkata dengan penuh kesungguhan, “Wahai Rasulullah, nikahkan saja aku dengannya, kalau memang engkau tidak tertarik dengannya.” Rasulullah pun bertanya, “Apakah kamu mempunyai sesuatu yang bisa dijadikan mahar untuknya?” Pria itu menjawab, “Aku tak mempunyai apa-apa kecuali izar (kain sejenis sarung)ku ini.”
Beliau pun berkata, “Kalau kamu memberikan izarmu kepadanya, kamu akan duduk dalam keadaan tak ada izar yang menutupimu badanmu. Carilah selain ini (izar)..” Ia pun berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang bisa dijadikan mahar pernikahannya. Namun ia kembali dengan tangan kosong. “Wahai Rasulullah, aku tidak mendapatkan apa-apa,” ujarnya.

Beliau bersabda, “Carilah lagi (untuk maharmu itu) walaupun cincin dari besi.” Ia pun kembali berusaha mencari dan mencari untuk mendapatkan itu, namun kembali, ia datang dengan tangan kosong. Melihat keadaannya seperti itu, beliau pun tergugah untuk membantunya. Beliau bertanya, “Apakah kamu memiliki hafalan Al-Quran?” Ia menjawab, “Ya.” (dalam riwayat Abu Daud disebutkan bahwa ia hafal surat Al-Baqarah dan setelahnya). Beliau pun bersabda, “Aku menikahkanmu dengannya, dengan mahar berupa hafalan Al-Quran.” Akhirnya pria itu menikah dengan gadis itu. (HR. Bukhari No. 5135 dan Muslim No. 1425) Dalam riwayat lain beliau SAW bersabda, “Pergilah, aku telah menikahkanmu, ajarkanlah ia Al-Quran.”

Dalam hadits di atas terdapat isyarat bahwa kufu (kesetaraan) yang dituntut Islam dalam suatu pernikahan adalah dari sisi din (agama) bukan nasab, harta, dan rupa. Karena itu, menerima pinangan seorang yang saleh, yang baik dari sisi agamanya, merupakan sesuatu kepatutan yang harus diperhatikan seorang muslimah dan walinya meskipun yang meminang ini memiliki kekurangan dari sisi lainnya (yang bersifat duniawi). Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya yang masyhur di tengah-tengah kita, “Pilihlah yang memiliki din, niscaya kamu beruntung.” (HR. Bukhari No. 5090 dan Muslim No. 1466)

Shahabiyah di atas membuat kita terpegun, mengapa ia rela dinikahi seorang pria fakir yang tidak memiliki harta kecuali pakaian yang melekat di badannya? Apa yang ‘menyihir’nya sehingga mau menikah dengan seseorang yang tidak memiliki sesuatu yang bisa ‘dibanggakan’, kecuali ‘hanya’ ketakwaan dan penjagaannya terhadap Al-Quran?

Begitu pula ada shahabiyah lain yang karena perhatiannya yang lebih terhadap din calon suaminya, membuatnya ‘lupa diri’ sehingga rela menikah dengan mahar berupa sandal. Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah kamu rela diri dan hartamu ‘seharga’ dua sandal?” ia menjawab, “Ya.” Beliau pun merestui pernikahannya. (Musnad Abi Daud Ath-Thayalisi No. 1227)

Dan Rasulullah SAW juga memberi tuntunan kepada Fathimah binti Qais, tatkala ia mengadukan kebimbangannya dalam memilih diantara dua orang shahabat yang meminangnya. Muawiyah bin Abi Sufyan ataukah Abu Jahm? Beliau menyarankannya untuk menikah dengan seorang yang justru di luar perkiraannya, yaitu Usamah bin Zaid. Apakah seorang hitam, anak bekas budak akan menikahi seorang wanita cantik dan terhormat dari kalangan Quraisy, kabilah terhormat di jazirah Arab? Lantas apa yang akan dikatakan orang-orang tentang pernikahannya nanti?

Ia pun ‘berontak’, “Aku tidak menyukainya.” ceritanya. Namun beliau SAW berkata lagi, “Nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Ia pun akhirnya menikah dengan Usamah bin Zaid. Setelah menikah dengan pemuda saleh itu, ternyata ia merasakan berkah melimpah dari pernikahannya. Ia merasakan keharmonisan rumah tangga yang tidak dirasakan oleh pasangan manapun selain mereka berdua. Ia berkata, “Aku menikah dengannya (Usamah), maka Allah menjadikan kebaikan di dalam pernikahan tersebut dan aku pun merasa bahagia.” (HR. Muslim No. 1480)

Dan sejarah juga mencatat, bagaimana Bilal bin Abi Rabah, muadzin Rasulullah SAW, seorang bekas budak dari Ethiopia ternyata menikah dengan Halah binti Auf, saudara perempuan dari Abdurrahman bin Auf, seorang saudagar kaya raya dari kalangan sahabat Nabi SAW.

Dan bagaimana juga Umar bin Khattab menawarkan putrinya kepada Salman Al-Farisi, bekas budak dari Persia. (Subulussalam hadits No. 939-941)

Atsar-atsar di atas menunjukkan disyariatkan bagi seseorang untuk menawarkan kepada seorang yang saleh, yang baik agamanya untuk menikahi seorang wanita yang ada dibawah tanggungannya meskipun tidak ada kufu’ (kesetaraan) dari sisi nasab, harta dan rupa, maka apalagi menerima pinangannya tentunya!

“Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya (untuk meminang wanita kalian), maka hendaknya kalian menikahkan orang tersebut dengan wanita kalian. Bila kalian tidak melakukannya niscaya terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi No. 1084)

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami tetap menerimanya walaupun pada diri orang tersebut ada sesuatu yang tidak menyenangkan kami?” Beliau menjawab pertanyaan ini dengan mengulangi kembali perkataan di atas sampai tiga kali.

Begitu pentingnya pertimbangan agama, sebab, kebaikan agama seseorang akan membawa keberkahan yang melimpah bagi kehidupan pasangannya, keluarganya serta keturunannya. Keberkahan yang tidak didapatkan dalam harta, nasab dan rupa seseorang.

Namun, apakah atsar-atsar di atas sudah sampai di telinga para muslimah beserta wali mereka di zaman ini? Seandainya telah sampai, akankah tetap ada seorang saleh yang tertolak untuk menikahi seorang wanita karena ia “belum mapan”, tidak “sederajat”, “bukan pegawai negeri” dan alasan duniawi lainnya?

Padahal, yang hendak melamar ini, hartanya bukan hanya pakaian yang melekat di tubuhnya, mahar yang akan diserahkan bukan berupa sandal dan ia pun bukan keturunan budak. Akankah mereka menutup pintu bagi kebaikan yang ada di depan mata mereka di masa-masa orang yang saleh makin jarang ditemui, sedangkan orang-orang fasik makin merajalela dan jumlah kaum hawa makin meningkat berlipat-lipat?
www.eramuslim.com

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungan Anda semoga bermanfaat, silahkan tinggalkan komentar sebagai bentuk saling berbagi...

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites